Sabtu, 19 September 2020

::: You are allowed to disagree :::

 

Dalam berinteraksi kita tentu pernah berada dalam situasi yang bertentangan dengan orang lain. Bedanya adalah apakah kita mengkomunikasikan hal yang bertentangan tersebut kepada lawan bicara atau tidak. Umumnya seringkali kita merasa "tidak pantas" atau bahkan cenderung takut ketika mengkomunikasikan keberatan kita akan suatu hal. Jika hanya hal sepele mungkin tidak masalah, namun apa jadinya jika apa yang menjadi keberatan Anda cenderung merugikan diri Anda atau bahkan orang lain? Disinilah Anda butuh strategi untuk menghadapi situasi tersebut. Anda mungkin pernah atau sering mendengar konsep tentang assertiveness, khususnya dalam gaya komunikasi. Ya, konsep assertiveness seringkali dijadikan sebagai gaya komunikasi yang efektif dalam menangani situasi tersebut. Namun, pada kenyataannya sulit untuk secara spontan mempraktekan gaya komunikasi tersebut jika tidak sering dilatih. Oleh karena itu, menurut saya lebih dari gaya komunikasi, assertiveness penting untuk dilatih sebagai bentuk perilaku sehingga dapat menjadi respon bawah sadar otomatis ketika Anda tiba-tiba berada dalam suatu konflik.

Lalu, apa yang dimaksud dengan perilaku assertive? Mengapa perilaku assertive penting untuk dikembangkan dalam diri secara personal?

Calberti & Emmons (1974) mendefinisikan perilaku assertive sebagai perilaku yang memungkinkan seseorang bertindak sebaik mungkin untuk membela dirinya sendiri tanpa kecemasan yang semestinya, untuk mengungkapkan kejujuran dengan rasa nyaman dan untuk mengambil hak diri sendiri tanpa menyangkal hak untuk orang lain. 

Ketika kita membela diri kita sendiri, terkadang kita merasa khawatir apakah kita akan dipandang orang lain sebagai seorang yang egois atau tidak. Bahkan khawatir apakah orang lain akan berubah menjadi membenci kita ketika kita membela diri kita sendiri. Selain itu, kadang kejujuran itu rasanya pahit bagi sebagian orang, sehingga membuat kita terpaksa berkata tidak jujur di depan orang lain agar tidak menyinggung orang tersebut.  

Assertiveness disini adalah bentuk ekspresi dari perasaan, keyakinan, pendapat dan kebutuhan yang dikomunikasikan secara langsung, jujur dan dengan cara yang tepat. Melalui perilaku assertive, itu artinya kita menghargai hak pribadi diri sendiri sama pentingnya dengan hak orang lain.

Dalam kehidupan nyata, seringkali kita sulit menerapkan perilaku assertive karena perilaku tersebut justru banyak dianggap orang lain sebagai bentuk agresi. Namun, walaupun sulit diidentifikasi apakah perilaku tersebut assertive atau agresive, penting diketahui bahwa terdapat perbedaan yang tipis antara perilaku assertive dengan perilaku agresive. Perilaku assertive didasarkan pada "keseimbangan" yang mana membutuhkan kejujuran tentang keinginan dan kebutuhan Anda sambil tetap mempertimbangkan kebutuhan, hak dan keinginan orang lain. Jadi, ketika orang berperilaku assertive, walaupun Ia tegas dan percaya diri dalam menyampaikan keinginannya, masih ada rasa adil dan empati terhadap orang lain. Sementara pada perilaku agresive didasarkan pada kemenangan dan egosentris. Anda melakukan apa yang menjadi kepentingan Anda tanpa memikirkan kepentingan dan hak orang lain. 

Ok, mungkin sudah cukup jelas apa itu perilaku assertive dan perbedaannya dengan perilaku agresive. Selanjutnya, mengapa penting bagi kita untuk menerapkan perilaku assertive dalam kehidupan sehari-hari? Apakah tidak cukup jika hanya dipraktekan ketika terjadi konflik saja? Tidak memiliki perilaku assertive mungkin terlihat tidak berbahaya namun dalam jangka panjang, hal itu bisa membahayakan harga diri dan dapat menyebabkan depresi. Pertama, tujuan dari perilaku assertive sendiri adalah untuk membantu kita mengekspresikan diri secara efektif dan mempertahankan sudut pandang kita sekaligus menghormati hak dan kepentingan orang lain. Perilaku assertive juga dapat mengurangi stress khususnya pada orang-orang yang memang sulit berkata tidak. Ketika mereka dihadapkan pada pilihan yang merugikan diri mereka, jika mereka menerapkan perilaku assertive maka mereka akan dihindarkan dari situasi yang menekan sehingga dapat mengurangi stress. Melalui perilaku assertive juga dapat mencegah orang lain memanfaatkan kita. 

Orang yang memiliki perilaku assertive tidak lahir begitu saja namun perlu dibentuk. Perilaku assertive dapat dipelajari dengan mempraktekannya berulangkali sehingga menjadi respon bawah sadar yang bersifat otomatis. Berikut ini beberapa langkah yang dapat Anda lakukan untuk melatih perilaku assertive.

  • Hargai diri dan hak Anda. Pertama-tama, untuk menjadi lebih assertive Anda perlu memiliki pemahaman yang baik tentang diri Anda serta keyakinan yang kuat pada nilai yang melekat dalam diri Anda. Keyakinan ini memberi Anda kepercayaan diri untuk membela hak-hak Anda dan melindungi batasan Anda.
  • Suarakan kebutuhan dan keinginan Anda dengan percaya diri. Jika Anda ingin bekerja secara maksimal, Anda perlu memastikan keinginan dan kebutuhan Anda terpenuhi. Oleh karena itu, ambil inisitaif dan mulai lah mengidentifikasi apa yang Anda butuhkan. Jangan mudah menyerah bila keinginan Anda tidak langsung terpenuhi saat itu juga namun jangan sampai keinginan Anda pada akhirnya mengorbankan kepentingan orang lain. 
  • Amati gaya komunikasi Anda. Jadi, sebelum mulai merubah gaya komunikasi Anda menjad lebih assertive, amati gaya komunikasi Anda sehari-hari seperti apa. Apakah anda tipe yang menyuarakan pendapat Anda atau tetap diam? Apakah Anda mengatakan Ya pada tambahan pekerjaan Anda walaupun Anda overload? Apakah Anda takut atau orang yang tampak takut berbicara pada Anda?
  • Gunakan gaya komunikasi assertive. 
  1. I Statement. Melalui I statement, akan membuat orang lain tahu apa yang Anda pikirkan dan rasakan tanpa terdengar menuduh. Misalnya, menggunakan kalimat " Saya tidak setuju" lebih baik didengar daripada "Kamu salah" . Atau gunakan kalimat " Saya ingin Anda membantu saya dengan cara ini" daripada menggunakan kalimat "Anda perlu melakukan ini". Intinya, tetap gunakan pernyataan yang simple dan spesifik.
  2. Empati. Usahakan untuk selalu mengenali dan memahami bagaimana orang lain memandang situasi tesebut. Setelah mempertimbangkan sudut pandangnya, ungkapkan apa yang Anda butuhkan darinya. Misalnya, " Saya paham Anda sedang dalam masalah, namun pekerjaan ini perlu tetap diselesaikan, mari kita bicarakan apa yang masih bisa Anda kontribusikan"
  3. Eskalasi. Hal ini dilakukan jika upaya Anda dalam berperilaku assertive masih belum membuahkan hasil. Anda dapat memberitahukan kepada lawan bicara apa yang akan Anda lakukan jika setelahnya Anda masih belum puas dengan hasil yang diperoleh.
  • Berlatih mengatakan tidak. Mengatakan tidak, sulit dilakukan jika Anda tidak terbiasa melakukannya. Anda perlu mengetahui batasan Anda sendiri untuk membuat pekerjaan Anda lebih efektif dan tidak merasa seolah-olah dimanfaatkan. Jika Anda merasa kesulitan menolak permintaan, coba katakan " Saya tidak bisa melakukannya sekarang" tanpa ragu dan terus terang. Setidaknya berusahalah jujur dengan kondisi Anda tanpa merasa tidak nyaman. Cobalah untuk menemukan solusi yang sama-sama menguntungkan bagi semua orang.
  • Latih apa yang ingin Anda katakan. Jika sulit untuk mengemukakan apa yang Anda pikirkan dan inginkan, coba praktekan skenario umum yang mungkin akan Anda hadapi. Anda mungkin bisa coba mempraktekannya dengan teman atau anggota keluarga untuk memperoleh feedback.
  • Gunakan bahasa tubuh. Assertiveness tidak hanya tampak pada komunikasi namun juga bahasa tubuh. Bersikaplah percaya diri dengan mempertahankan postur tegak, melakukan kontak mata yang teratur dan menampilkan ekspresi wajah yang netral serta positif. Ingat, penggunaan bahasa tubuh juga butuh dilatih.
  • Mulai dari hal kecil. Latih keterampilan baru Anda dalam situasi yang beresiko rendah. Misalnya ketika berdiskusi dengan teman atau keluarga, Anda bisa mempraktekkannya lalu mengevaluasinya. 
  • Akui bahwa Anda tidak dapat mengontrol perilaku orang lain. Ketika Anda sudah mampu berperilaku assertive, jangan membuat kesalahan dengan menerima tanggung jawab atas bagaimana orang bereaksi terhadap perilaku assertive Anda. Misalnya, ketika mereka marah atau kesal terhadap perilaku assertive Anda, cobalah untuk tidak bereaksi sama. Selama Anda bersikap hormat dan tidak melanggar kebutuhan orang lain, maka Anda berhak mengatakan atau melakukan apa yang Anda inginkan. 








Daftar Pustaka

https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/stress-management/in-depth/assertive/art-20044644 

https://www.mindtools.com/pages/article/Assertiveness.htm


Sabtu, 11 Juli 2020

::: Rumination : Break the habit. Think about your joys :::


Redirecting My Thoughts to End Rumination & Alleviate Depression ...


Ketika kita mengalami hal yang tidak menyenangkan atau menemukan masalah seringkali kita teringat terus akan pengalaman tersebut. Misalnya, ketika kita tidak sengaja melewatkan peluang, terlanjur salah bicara, atau melakukan kesalahan. Kita mungkin mencoba memahaminya dalam pikiran kita, berusaha belajar dari pengalaman tersebut atau mungkin hanya sekadar mencari validasi bahwa hal tersebut seharusnya tidak terjadi. Pada satu waktu, merenungkan apa yang sudah terjadi memang baik sebagai bentuk self-reflection. Akan tetapi, aspek yang membedakan dari perenungan sebagai self reflection atau tidak adalah adanya fokus pada hal-hal negatif yang bersifat produktif. Ketika apa yang kita renungkan mengandung banyak hal negatif, dan kita lakukan secara berulang-ulang, yang terjadi justru kita terjebak dalam kondisi mental yang serius dan berbahaya. Dalam konteks psikologi, kondisi tersebut dikenal sebagai Rumination.


Rumination adalah bentuk kognisi/berpikir terus menerus yang berfokus pada konten negatif, umumnya masa lalu dan sekarang serta menghasilkan tekanan emosional. Nolen-Hoeksema (2008) mendefinisikan rumination sebagai cara untuk menanggapi tekanan - sesuatu yang melibatkan pemfokusan berulang dan pasif pada tekanan serta kemungkinan penyebab dan konsekuensinya. Rumination mewakili proses berpikir yang berlebihan dan fokus terhadap perasaan dan masalah seseorang bukannya terkait isi pemikiran. Ito dkk (2006) menggambarkan rumination sebagai kecenderungan untuk terus memikirkan sesuatu yang buruk, berbahaya atau tidak menyenangkan dalam waktu yang lama. Dalam hal ini, rumination berbeda dengan kekhawatiran. Rumination merupakan proses berkelanjutan dari sesuatu yang negatif, dan fokus pada masa lalu atau saat ini. Sedangkan kekhawatiran cenderung terkait dengan proses ketidakpastian yang berkelanjutan dan berfokus pada masa depan.

Rumination cukup sulit ditangani, hal ini karena sifatnya yang memperkuat diri sendiri. Ketika individu melakukan rumination terkait masalah atau hal lainnya, maka semakin kuat dorongan untuk melakukan rumination secara intens. Banyak terapi konvensional justru menggunakan cara yang meningkatkan kecenderungan untuk melakukan rumination, seperti meminta klien menceritakan pengalamannya secara detail. Atau terapi kognisi dimana klien diminta mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif mereka, namun yang terjadi justru mereka kembali tenggelam dalam rumination. Pada umumnya, rumination banyak dipicu oleh emosi sedih dan marah. Rumination yang dipicu oleh emosi marah, seringkali membuat ruminator sensitif dan mudah terprovokasi terhadap hal-hal kecil. Banyak dari ruminator yang marah melampiaskan emosi mereka terhadap orang lain secara berlebihan hingga pada akhirnya mereka terperangkap dalam lingkaran ruminatif depresif. 

Dampak dari rumination antara lain meningkatkan pemikiran ke arah yang negatif karena suasana hati yang negatif. Misalnya, ketika berpikir tentang masa lalu, ruminator cenderung fokus pada ingatan negatif, dan menilai peristiwa negatif sebagai sesuatu yang lebih sering terjadi dalam hidup mereka. Adapun jika ruminator berpikir tentang saat ini, Ia akan fokus pada masalah saat ini, seperti konflik dengan orang lain, lebih menyalahkan diri sendiri dan pesimis tentang penyelesaian masalah saat ini. Sedangkan ketika ruminator berpikir tentang masa depan, Ia akan menjadi kurang optimis dan menilai bahwa peristiwa positif akan lebih jarang terjadi pada mereka. Intinya, semua yang dipikirkan mengarah ke hal-hal negatif baik di masa lalu, kini dan masa depan. 

Selain pemikiran, rumination dapat mengganggu dalam hal pemecahan masalah. Rumination membuat individu tidak berdaya karena menguras motivasi dan inisiatif. Ruminator mungkin dapat memecahkan masalah, namun seringkali tidak optimal. Atau bahkan jika mereka menghasilkan solusi yang baik untuk permasalahan mereka, ruminator cenderung tidak percaya diri dengan solusi mereka dan meminta lebih banyak waktu untuk memikirkan solusi tersebut, Ia juga akan kurang percaya diri dalam mengimplementasikan solusinya (Ward, Lyubomirsky, Sousa & Nolen-Hoeksema, 2003).

Ruminator juga cenderung enggan terlibat dalam bentuk kegiatan apapun karena kekhawatirannya terhadap emosi negatif yang akan muncul. Hal ini membuat rumination juga dapat menghambat  perilaku instrumental* pada ruminator (Nolen & Hoeksema, 2008). Misalnya, ketika seseorang memiliki penyakit berat, namun karena Ia sudah jatuh dalam kondisi rumination (terjebak dengan pikiran-pikiran negatif tentang penyakitnya) yang seharusnya Ia ke dokter namun Ia justru takut dan tidak melakukannya. Selain itu, rumination juga dapat menjadi penyebab rusaknya hubungan sosial, karena orang lain yang tadinya mendukung cenderung menjadi bosan terhadap ketidakmampuan dan keengganan si ruminator untuk mengambil tindakan atau lepas dari rumination-nya (Hoeksema & Davis, 1999). Contohnya, ketika ruminator berulangkali menceritakan tentang pengalaman negatifnya kepada teman-temannya, tanpa mengambil tindakan atas pengalaman negatifnya tersebut. Hal ini  membuat teman-temannya lama-lama akan merasa muak dengan perilaku si ruminator dan memilih untuk menghindarinya. 

Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan rumination. Pertama, terapkan effective distraction, libatkan diri dalam kegiatan yang memunculkan pikiran positif. Misalnya melakukan hobby atau melakukan hal apapun yang menyenangkan. Intinya, ada kegiatan yang dilakukan untuk mengisi pikiran Anda, khususnya dengan pikiran positif. Hal ini diharapkan dapat mengalihkan pikiran dari rumination sementara waktu sehingga rumination tidak dapat muncul dan tidak menguasai pikiran serta memberikan ruminator reinforcement yang positif. Namun, effective distraction disini tidak termasuk pada kegiatan-kegiatan membahayakan diri seperti mabuk, penyalahgunaan narkoba atau perilaku agresif. Kedua, melakukan pemecahan masalah. Biasanya ruminator seringkali terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan abstrak dalam pikirannya seperti "mengapa ini terjadi? apa yang salah sehingga hal itu terjadi?". Bahkan ketika mereka berusaha menyelesaikan situasi, mereka akan cenderung menyimpulkan bahwa " Tidak ada yang bisa dilakukan". Hal itu perlu dicegah dengan berpikir jernih. Lakukan identifikasi, setidaknya satu hal konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Misalnya Anda terjebak dengan pikiran bahwa Anda tidak menyukai suasana kantor Anda sekarang, maka coba lah hubungi teman Anda sehingga bisa memperoleh brainstroming solusi yang lainnya. 

Cara lainnya, menurut Winch, Guy (2013) adalah mengubah perspektif kita menjadi perspektif orang ketiga saat melakukan analisa terhadap pengalaman negatif yang kita alami sehingga kita tidak langsung membayangkan dan merasakan emosi negatif yang ditimbulkan dari pengalaman tersebut. Ketika kita berperan sebagai orang ketiga, kita akan menafsir-ulang pengalaman tersebut hingga mampu membentuk pemahaman baru terhadap pengalaman negatif yang kita alami. Selain itu, ruminator juga dapat melakukan reframing emosi agar pengalaman negatif tersebut tidak terlalu memicu emosi yang negatif pula. Hal ini dengan cara merumuskan suatu penafsiran baru dari pengalaman yang memunculkan emosi negatif menjadi lebih positif. Misalnya ketika kita mengalami kegagalan, daripada terus menerus sedih dan kecewa terhadap pengalaman tersebut, kita bisa mengubah kegagalan tersebut sebagai motivasi untuk lebih berusaha lagi. 

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kegiatan merenung cenderung dikaitkan dengan sesuatu yang "maladaptive" melalui adanya rumination. Akan tetapi, kegiatan merenung sendiri memiliki sisi positif yang dinamakan adaptive self reflection. Kondisi tersebut terjadi ketika individu fokus pada bagian konkret dari situasi dan perbaikan yang dapat dilakukan. Rumination erat kaitannya dengan gangguan klinis lainnya seperti depresi, kecemasan, PTSD dan lainnya. Oleh karena itu, ruminator tetap disarankan untuk mencari bantuan dengan datang ke psikolog atau psikiater.



* Perilaku Instrumental adalah perilaku yang selalu memanfaatkan segala sesuatu yang ada di lingkungannya untuk membantu dirinya mencapai tujuan yang hendak dicapai.

Carla Grayson Quotes (With images) | Quotes, Feelings, Ruminations

Daftar  Pustaka
Sansone, Randy & Sansone, Lori. A. (2012). Rumination: Relationships with physical health. Jpurnal of innovations in clinical neuroscience Feb; 9(2): 29–34

Nolen-Hoeksema S, Wisco BE, Lyubomirsky S. Rethinking rumination. Perspectives in Psychological Science. 2008;3:400–424

 Ito T, Takenaka K, Tomita T, Agari I. Comparison of ruminative responses with negative rumination as a vulnerability factor for depression. Psychol Rep. 2006;99:763–772.

Noleh - Hoeksema, Vine, V & Gilbert Kirsten. (2013).  Rumination & Emotions. Handbook of Psychology of Emotions: Recent Theoretical Perspectives and Novel Empirical Findings. 

Guy, Winch. (2013). Emotional First Aid. 


https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.pinterest.dk%2Fpin%2F102808803970924755%2F&psig=AOvVaw0kbrF9qqnPIW4a29lab18L&ust=1594542731207000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCPidoIHlxOoCFQAAAAAdAAAAABAS

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.bphope.com%2Fblog%2Fredirecting-thoughts-ending-rumination-alleviating-depression-bipolar%2F&psig=AOvVaw3Ldc9_GUBnIzooXWJ0I79K&ust=1594543449672000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCIC86bfnxOoCFQAAAAAdAAAAABAL

Rabu, 25 Maret 2020

::: Review Buku (Part 2): Seni Hidup Minimalis (Francine Jay) :::

Hallooo,,,, review buku ini sudah jadi rencana lama saya sejak tahun 2019😱😱 OMG..
Jika Anda tertarik, Anda bisa cek review sebelumnya disini yaaa πŸ˜„sempat tertunda lama dikarenakan buku yang saya punya sempat hilang (ditelan kasur) 😜dan awalnya saya pikir tidak banyak yang minat tentang tema ini, secara masyarakat Indonesia banyak yang gaya hidupnya cenderung konsumtif yaaa...Masa iya udah koleksi ini-itu mahal-mahal mau dibuang? Gak sayang??But, surprisingly terakhir cek ternyata sudah ribuan yang tampaknya kepo untuk sekadar mencoba cari tahu gimana sih cara hidup minimalis hahaha termasuk saya yang gaya-gayaan doang 😝
Ok, kita mulai saja next review-nya yaaaa...πŸ‘‡ WARNING!! (Cukup panjang, jika bosan silakan skip)



Sebelumnya, saya sudah bahas  bagaimana penulis mencoba untuk menanamkan mindset pada Anda terkait betapa pentingnya hidup minimalis. Selanjutnya adalah bagaimana mindset tersebut Anda tuangkan ke dalam tindakan. Penulis menyebutkan metode STREAMLINE, dimana masing-masing hurufnya menyiratkan teknik atau tahapan yang perlu dilakukan.


Start over (Mulai dari awal)
Teknik ini mengajak Anda untuk berasumsi bahwa ketika Anda membersihkan rumah dari barang-barang, anggaplah itu sebagai hari pertama Anda masuk ke rumah. Jadi, Anda tidak perlu memulai dengan mengosongkan SELURUH isi rumah. Namun, lakukan dengan perlahan dan terbagi menjadi sub-sub kegiatan. Dalam hal ini, Anda dapat memilih bagian/tempat mana dulu yang akan Anda kosongkan. Inti dari teknik ini adalah mengeluarkan semua barang dari tempat yang Anda pilih, lalu Anda akan berperan sebagai kurator untuk memutuskan barang yang mana yang paling bermanfaat bagi Anda dalam tempat tersebut. Misalnya, Anda bisa mulai dari tempat kecil seperti laci mungkin? intinya, kuras terus isi laci Anda, lalu dipilih...dipilih...dipilih....

Trash, Treasure or Transfer (Buang, Simpan atau Berikan)
Pada teknik ini, barang dibagi menjadi 3 kategori yakni buang, simpan atau berikan. Namun pada prosesnya, Anda perlu menyiapkan tempat untuk barang kategori "diputuskan nanti", jika setelah 6 bulan atau setahun Anda tidak pernah "menengok" barang tersebut, tandanya Anda perlu membuang atau menyumbangkan benda yang ada di dalamnya. Untuk barang kategori "buang" intinya adalah barang-barang yang memang sudah tidak dapat digunakan lagi, entah rusak, kadaluarsa, tidak layak diperbaiki bahkan tidak layak disumbangkan. Misalnya makanan basi, kosmetik dan obat kadaluarsa. Sementara untuk barang kategori "simpan" adalah barang yang memang Anda sukai entah karena estetika ataupun fungsi. Barang yang Anda sukai disini maksudnya ketika Anda melihatnya, Anda menikmatinya. Namun jika barang tersebut bahkan tidak Anda pajang dan Anda tidak merasa menikmati keberadaan barang itu, artinya tidak layak untuk disimpan. Misalnya, lukisan.. namun pastikan ketika Anda melihat lukisan tersebut, Anda benar-benar menikmati seni tersebut bukan hanya sekadar pengisi dinding kosong 😜. Kemudian barang kategori "berikan" adalah barang dengan kondisi masih baik namun sudah tidak bermanfaat bagi Anda. Untuk kategori ini, biasanya dibedakan lagi ke dua kategori yakni donasi dan jual. Misalnya, kardus atau koran bekas bagi Anda mungkin hanya sampah namun bagi orang lain bisa jadi bernilai lebih. 

Reason for each item (Alasan setiap barang)
Penulis menjelaskan bahwa Anda perlu memikirkan alasan mengapa barang itu layak menjadi bagian dari rumah Anda. Intinya, barang itu harus memiliki kegunaan yang positif. Dalam tahap ini Anda perlu lebih cermat, karena bisa saja barang tersebut memiliki fungsi yang positif, namun ternyata sudah ada yang mirip di rumah Anda. Selain itu, pertimbangkan juga adanya barang-barang "kembar" yang biasanya ada dalam jumlah banyak seperti klip kertas, karet gelang, peniti. Namun, pikirkan lagi bahwa Anda tidak mungkin memakai begitu banyak klip kertas, peniti atau karet gelang bersamaan bukan? Jadi, segenggam dari barang tersebut seharusnya cukup untuk kebutuhan Anda. Anda perlu mengevaluasi setiap barang terkait apa fungsinya dan seberapa sering Anda gunakan. Lebih mudahnya, penulis menjelaskan bahwa Anda dapat menerapkan hukum pareto 80/20, yakni dalam 80% waktu kita hanya menggunakan 20% semua barang yang kita miliki. 

Everything in its place (Semua barang pada tempatnya)
Penulis menyarankan agar Anda memberi tempat pada setiap barang yang Anda miliki. Sehingga barang-barang tersebut tidak akan "tercecer" atau menumpuk di dalam rumah. Namun untuk penentuan tempatnya, Anda perlu mempertimbangkan seberapa sering Anda menggunakan barang tersebut. Penulis menyebutkan adanya 3 kategori yakni inner circle, outer circle dan deep storage. Inner circle untuk menyimpan barang yang sering atau sehari-hari digunakan. Outer circle untuk barang yang frekuensi penggunaannya lebih jarang atau mudahnya digunakan seminggu atau bahkan setahun sekali. Sementara deep storage untuk barang-barang yang biasa ditaruh di luar ruangan. Ketika Anda sudah menemukan tempat untuk semua barang Anda, tugas selanjutnya adalah mengembalikan setiap barang ke tempatnya semula jika sudah selesai digunakan. 

All surfaces clear (Semua permukaan bersih)
Terkadang memang sulit untuk membiarkan meja atau lantai terlihat kosong begitu saja. Namun penting untuk berpikir bahwa permukaan yang kosong bukanlah tempat untuk menyimpan barang. Agar lebih mudah, mungkin Anda dapat berpura-pura membayangkan bahwa permukaan yang kosong itu bersifat licin dan miring sehingga tidak mungkin Anda menaruh barang diatasnya. Intinya, jika ada permukaan yang seharusnya kosong namun tidak karena adanya barang, Anda perlu segera untuk mengosongkannya lagi.

Modules (Ruang)
Penulis menjelaskan bahwa Anda perlu membuat "ruang" dengan cara mengumpulkan barang dengan fungsi yang mirip ke dalam 1 wadah. Selain itu, hal ini bisa membantu Anda untuk mengetahui seberapa banyak barang yang Anda miliki sehingga dapat mencegah Anda membeli barang yang mirip di kemudian hari. Misalnya, cari semua pulpen yang ada di dalam rumah Anda kemudian masukkan ke dalam wadah untuk menjadi "ruang" alat tulis.

Limits (Batas)
Terapkan batas untuk barang-barang Anda. Misalkan, Anda hanya memiliki 1 rak buku atau 1 tempat dvd maka batasi barang-barang Anda agar hanya cukup di dalam wadah yang Anda miliki tersebut. Jangan justru menambah wadah yang sudah ada yaa..Awalnya mungkin sulit, namun ketika Anda sudah nyaman dengan memberlakukan batas, Anda bisa menerapkan batas tidak hanya terhadap barang namun juga hal lainnya seperti konsumsi, makanan dll.

If one comes in, one goes out (Satu masuk, satu keluar)
Jika Anda berniat menambah barang baru, Anda perlu mengeluarkan barang lama yang serupa. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan antara barang yang masuk dengan barang yang keluar. Contoh, Anda ingin membeli kemeja baru yang menurut Anda modelnya sedang trend, agar barang tidak menumpuk, Anda perlu "membuang" kemeja lama Anda yang lainnya. Akan tetapi, biasanya hal ini sulit dilakukan, karena kebanyakan ketika Anda sudah mendapatkan barang yang baru, Anda justru menyimpan barang yang lama. Bahkan, bisa jadi barang lama akan "terlihat" tidak seburuk yang Anda pikirkan seperti sebelumnya sehingga tidak "layak" untuk disingkirkan. Anda perlu banyak mendisiplinkan diri dalam hal ini.

Narrow Down (Kurangi)
Ketika Anda sudah cukup mahir "membuang" barang Anda, bukan berarti Anda sudah mencapai taraf tertinggi dalam gaya hidup minimalis. Inti dari hidup minimalis adalah Anda memiliki barang dalam jumlah yang cukup dengan kebutuhan Anda, tidak lebih dan tidak kurang. Akan tetapi, kebutuhan setiap orang berbeda-beda, bisa jadi 1 barang adalah kebutuhan primer bagi saya namun bukan bagi orang lain. Jadi, Anda lah yang perlu menentukan daftar kebutuhan barang Anda sendiri sebagai seorang minimalist, jika bukan termasuk kebutuhan primer maka buanglah barang tersebut. Hal ini tentu sulit, namun yang perlu Anda lakukan hanya bagaimana caranya mengurangi barang yang ada hingga hanya barang yang benar-benar kebutuhan Anda lah yang tersisa. Cara mudahnya, Anda hanya perlu berhenti sejenak untuk mempertimbangkan tingkat kepentingan suatu barang. Jika tidak efektif, Anda mungkin bisa memilih menyimpan barang yang bersifat multiguna. Misalnya, ponsel dengan berbagai fitur lengkap, seperti kamera, kalendar, jam, kalkulator sehingga Anda tidak perlu lagi membeli barang yang serupa dengan fitur-fitur tersebut. Atau memilih barang yang memiliki tampilan netral, misalnya sepatu hitam yang dapat Anda gunakan di berbagai kesempatan dibandingkan sepatu berwarna terang yang perlu usaha untuk mengkombinasikannya. Jika terkait dengan barang yang memiliki kenangan, Anda tidak perlu menyimpan semua barang namun cukup pilih satu barang saja. Cara lainnya adalah menjadikan barang-barang dalam bentuk digital, seperti e-book, foto, film dll.

Everyday maintenance (Perawatan setiap hari)
Ketika teknik-teknik di atas dapat Anda lakukan, bukan berarti Anda sudah selesai menerapkan gaya hidup minimalis. Namun Anda perlu menjadikan teknik-teknik itu sebagai suatu siklus. Jika ruangan Anda sudah "bersih", jangan lengah membiarkan barang-barang kembali terkumpul. Bersihkan barang di permukaan yang kosong begitu Anda melihatnya sehingga mencegah penumpukan barang. Atau jika anggota keluarga lain yang menyebabkan barang di rumah Anda tidak pada tempatnya, Anda dapat dengan tegas mengembalikan barang ke tempat semula. Sehingga anggota keluarga lain dapat mengerti  dan berpikir dua kali jika menaruh barang sembarangan.

Sekian part 2 dari review buku Francis Jay, semoga membantu Ands untuk lebih termotivasi memulai gaya hidup minimalis. Saran saya, lakukan saja secara perlahan namun konsisten karena yang kita lakukan bukan hanya merubah sekadar kegiatan namun sebuah siklus gaya hidup yang lebih bersifat long-term. Terima kasih 😁

Sumber: Jay, Francine (2018)

:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::

Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....      Pernah tidak merasa emos...