Sabtu, 18 Mei 2019

::: Dysfunctional Family: Let them deal with what they have created :::


Hasil gambar untuk dysfunctional family toxic family quotes
Keluarga sudah menjadi objek yang menarik bagi setiap pembahasan dalam berbagai ilmu, seperti pedagogi, sosiologi dan psikologi. Secara umum, semuanya bertujuan untuk dapat mengidentifikasi sejauh apa peran keluarga mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan sosial dari individu.  Hal ini karena keluarga adalah lingkungan dasar dan alami bagi perkembangan manusia. Namun bagaimana apabila keluarga justru berkembang menjadi sesuatu yang bersifat toxic? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui sejauh apa peran keluarga bagi individu khususnya bagi mereka yang tumbuh dalam keluarga yang bersifat toxic sehingga berkembang menjadi keluarga yang tidak berfungsi/disfungsional.

Ketika Anda memiliki masalah, pernahkah Anda menyalahkan keluarga Anda sendiri atau salah satu dari anggota keluarga Anda? Seperti misalnya berpikir bahwa mengapa keluarga saya seperti ini, seperti itu? Jika keluarga saya tidak begini, seharusnya saya seperti itu. Atau berpikir bahwa saya tidak akan seperti ini jika keluarga saya tidak seperti itu...

Ya, banyak dari kita yang cenderung menganggap keluarga adalah penyebab dari masalah kita sendiri, bahkan membuat kita merasa "lepas" tanggung jawab terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Mungkin sebagian benar bahwa ada beberapa faktor dari keluarga yang menyebabkan sesuatu terjadi, dimana keluarga berubah menjadi tidak berfungsi dengan baik. Akan tetapi, bagaimana Anda tahu bahwa  efek dari keluarga disfungsi tersebut menjadi masalah yang serius bagi hidup Anda. Oleh karena itu, mari kita sedikit membahas tentang Dysfunctional Family (DF) serta pengaruhnya bagi Anda yang memang tumbuh dalam keluarga tersebut. Hal ini karena banyak dari mereka yang selama bertahun-tahun tidak memahami mengapa keluarganya tidak berfungsi tanpa tahu ada sesuatu yang salah di dalamnya.

Sebelum membahas lebih jauh tentang DF, berikut alasan mengapa keluarga menjadi pondasi yang penting bagi individu. Menurut Minkiewicz (2003) keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat, yang menjembatani antara individu dengan masyarakat. Keluarga memainkan peran besar dalam membentuk kepribadian dan sikap yang secara tidak langsung menunjukkan kesiapan mental individu untuk mendengarkan dan belajar tentang pengetahuan dan perilaku yang benar. Sehingga penting bagi Anda untuk mengetahui perbedaan antara keluarga yang "sehat" dengan yang "tidak sehat". Dalam keluarga yang sehat, bukan berarti tidak memiliki konflik sama sekali dalam keluarga. Akan tetapi konflik tersebut tidak setiap saat. Pengekspresian emosi masih dapat diizinkan dan diterima, anggota keluarga pun masih bisa meminta dan menerima perhatian. Aturan keluarga dibuat secara eksplisit dan konsisten namun tetap fleksibel untuk beradaptasi dalam kebutuhan setiap anggota keluarga. Anak-anak pun tidak takut secara emosional, tidak ada kekerasan fisik, verbal maupun seksual. Orangtua pun dapat diandalkan sehingga anak-anak tidak perlu mengambil tanggung jawab yang seharusnya dilakukan orangtua.

Menurut kamus medis, DF dipahami sebagai keluarga dengan banyak masalah internal, seperti persaingan saudara kandung, konflik orangtua-anak, KDRT, penyakit mental, orangtua tunggal; serta masalah eksternal seperti penyalahgunaan alkohol dan narkoba, hubungan di luar pernikahan, perjudian dan pengangguran. Intinya masalah yang mempengaruhi kebutuhan dasar keluarga. Akan tetapi, yang membedakan disini adalah pada keluarga yang "sehat", mereka akan kembali ke fungsi normal setelah melalui krisis tersebut. Namun pada keluarga yang "tidak sehat" atau disfungsi, masalah justru akan semakin kronis. Efeknya terlihat pada anak-anak di keluarga tersebut yang cenderung tidak bisa mendapatkan kebutuhan mereka dalam keluarga serta perilaku orangtua mereka yang negatif secara dominan mempengaruhi kehidupan mereka. Sementara menurut Wills-Brandon (1996), istilah disfungsi pada keluarga mengarah pada rasa frustasi anggota keluarga terhadap kebutuhan dasar mereka, adanya pelanggaran besar terhadap hak pribadi, hilangnya tanggung jawab dan adanya invasi dan perampasan pada batas individu. 

Salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam perkembangan suatu keluarga berubah menjadi disfungsional, adalah peran orangtua di dalam keluarga tersebut. Karena biar bagaimanapun, orangtua adalah satu-satunya orang dewasa yang berperan mengendalikan arah sehat atau tidaknya keluarga tersebut. Dalam hal ini, terdapat beberapa tipe orangtua yang dapat menyebabkan sebuah keluarga menjadi disfungsional.

Deficient Parents
Bagi mereka yang memiliki orangtua dengan penyakit jiwa, orangtua tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal dalam keluarga. Hal ini tentu menyebabkan anaknya mau tidak mau "mengambil" tanggung jawab orang dewasa. Dalam hal ini, kebutuhan emosional orangtuanya yang justru didahulukan sehingga anak akan  belajar mengabaikan kebutuhan emosional mereka sendiri. Anak yang "terpaksa" menjalankan peran orang dewasa, akan merasa tidak memadai dan merasa bersalah. Hal ini dapat berlanjut hingga ketika menjadi dewasa mereka akan cenderung depresi. Selain itu, adanya masalah medis pada anggota keluarga secara tidak langsung dapat menjadikan orangtua tergolong sebagai deficient parent. Misalnya jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit parah, biasanya mereka akan fokus pada anggota keluarga tsb, sehingga anggota keluarga lainnya terabaikan.

Controlling Parents
Berbeda dari tipe orangtua sebelumnya, orangtua tipe ini justru mengambil alih semua keputusan anak-anak mereka bahkan jauh melebihi batas usia seharusnya. Pada dasarnya pola asuh seperti ini didorong dari rasa khawatir orangtua bahwa diri mereka akan ditinggalkan saat anak mereka dewasa dan mandiri. Akan tetapi, efeknya terhadap anak, Ia akan menjadi sulit mengambil keputusan saat mandiri, merasa tidak mampu dan tidak berdaya.

Alcoholic Parents
Keluarga dengan tipe orangtua seperti ini cenderung kacau dan tidak dapat diprediksi. Orangtua kadang bersikap acuh tak acuh, pengekspresian emosi yang tidak diizinkan, dan biasanya mereka cenderung merahasikan masalah dari orang luar, Hal ini dapat menyebabkan anak merasa tidak aman, frustasi dan marah. Sehingga anak tumbuh menjadi tidak percaya dengan orang lain, sulit mengekspresikan emosi dan kesulitan menjalin hubungan sampai dewasa.

Abusive Parents
Orangtua yang melakukan tindakan pelecehan disini bisa dalam bentuk verbal, fisik maupun seksual. Pelecehan verbal bisa dalam bentuk frontal seperti kritik atau pun halus seperti humor, namun keduanya tetap bersifat merusak. Sementara untuk  fisik, seringkali orangtua menganggapnya sebagai tindakan disiplin, namun kenyataannya hal itu hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional orangtua semata dan tidak ada hubungannya dengan kepeduliannya terhadap anak. Efeknya justru akan menjadikan teror bagi anak tersebut, mereka tidak akan mampu mengembangkan perasaan aman bahkan hingga anak tersebut dewasa. Pelecehen seksual pada anak, umumnya berupa kontak fisik antara anak dan orang dewasa dimana kontak tersebut bersifat "rahasia". Demonstrasi bentuk kasih sayang seperti memeluk, mencium atau membelai rambut anak yang dilakukan secara terbuka cukup dapat diterima. Namun jika ada tindakan yang dilakukan dengan "rahasia", besar kemungkinan tindakan tersebut adalah tindakan tidak pantas. Akibatnya, anak akan tumbuh dengan membawa perasaan membenci diri sendiri, malu dan tidak berharga.


Faktor lainnya yang menjadi penyebab berkembangnya  keluarga menjadi disfungsi adalah adanya kekerasan dalam keluarga atau biasa disebut KDRT. Menurut Mellibruda (2005), kekerasan dalam keluarga meliputi setiap tindakan atau kelalaian yang dilakukan dalam keluarga oleh salah satu anggotanya terhadap yang lain dengan menggunakan atau menciptakan kondisi berdasarkan kekuatan atau otoritas yang berdampak negatif terhadap hak atau barang pribadi khususnya kehidupan dan kesehatan fisik atau mental. Dalam hal ini, KDRT mempengaruhi gangguan psikologis terutama pada anak dalam suatu keluarga seperti keterbelakangan mental dan fisik, masalah sosialisasi pada anak sehingga terjadi masalah di sekolah. Bakan pada kasus yang lebih tragis menyebabkan cedera fisik dan kematian. 


Kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab keluarga menjadi disfungsi. Konsep kemiskinan disini tidak hanya terpaku pada kekurangan materi namun lebih pada pengaruhnya terhadap kegiatan  yang membantu membuat keputusan di masa depan, Kondisi kemiskinan mempengaruhi suasana pola asuh orang tua yang serba tidak puas akan kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Anak yang dibesarkan dalam kemiskinan cenderung mengalami kemunduran dalam perkembangan, memiliki emosi yang negatif, dan cenderung menjauhkan diri dari kehidupan sosial karena mereka merasa malu berada dalam kemiskinan. Hal ini membuat anak terus menerus tumbuh dalam keyakinan bahwa dirinya lebih buruk dari anak lainnya  Intinya, kemiskinan secara tidak langsung berkontribusi membuat keluarga menjadi disfungsi khususnya dalam pendidikan yang lama kelamaan mengarah pada stigmatisasi. Marzec (2001) menambahkan bahwa kemiskinan menjadi fenomena umum yang mempengaruhi anggota keluarga mengalami depresi, berkurangnya motivasi dan aktivitas serta menurunnya nilai norma-norma moral bahkan dapat berkembang menjadi perilaku yang bersifat patologis. 


Dari berbagai penjelasan diatas, katakan lah Anda mungkin sudah mengetahui kira-kira apa yang menyebabkan keluarga Anda menjadi disfungsi selama ini dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi hidup dan perilaku Anda selama ini. Congratulations!! Anda sedang dalam perjalanan menuju penyembuhan dan pertumbuhan pribadi :) 
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini Anda mungkin masih berhadapan dengan bagaimana Anda berurusan dengan keluarga toxic Anda dan biar bagaimanapun mereka adalah bagian penting dari hidup Anda. Tetap saja Anda membutuhkan cara untuk menghentikan rasa sakit yang ditimbulkan dari mereka. Anda perlu mengetahui cara melindungi diri sendiri dan menghentikan pengaruh negatif yang telah ditimpakan pada Anda di masa lalu dan berujung hingga masa kini. Tidak banyak yang bisa saya bantu dalam hal ini, hanya sekadar memandu Anda untuk beralih dari masa lalu Anda yang "tidak berfungsi".

1. Pertimbangkan kembali definisi keluarga bagi Anda
Hal ini sangat sederhana, dapat dilakukan di usia remaja sampai bagi Anda yang dewasa sekalipun. Semua berawal dari mindset kita, apabila kenyataannya definisi keluarga yang Anda harapkan selama ini tidak sejalan maka tandanya Anda perlu merubahnya menjadi sesuatu yang lebih realistis. Ada banyak definisi keluarga yang dapat Anda "rangkai" kembali, hanya tinggal menyesuaikan dengan apa yang Anda miliki dalam keluarga Anda. Anda cukup mengambil semua hal positif, bahkan sekecil apapun kelebihan yang ada pada keluarga Anda untuk kemudian Anda jadikan "standar" definisi keluarga Anda. Dalam hal ini kemampuan yang perlu Anda miliki hanya menganalisa kondisi keluarga Anda. Setelah itu, tanamkan kuat-kuat definisi tersebut dalam diri Anda. Definisi tersebut dapat membantu Anda untuk menyeimbangkan kembali konsep pemahaman Anda terhadap keluarga Anda sendiri.

2. Apresiasi kualitas yang baik dalam diri Anda
Dari segala hal yang terjadi, Anda dapat bertahan sampai sekarang, maka hargailah diri Anda.
Bila perlu list kembali pencapaian-pencapaian Anda selama ini. Hal itu dapat menjadi "obat" ketika Anda merasa putus asa.

3. Biarkan diri Anda merasa marah dengan apa yang terjadi
Langkah ini dapat anda lakukan untuk dapat mulai memaafkan. Jika orangtua Anda adalah tipe yang masih memungkinkan untuk mendengarkan, Anda dapat membicarakan perasaan marah Anda dengan tujuan mendorong perubahan positif bukan untuk menyakiti. Namun apabila benar-benar tidak memungkinkan, Anda cukup menuliskan surat berisi kemarahan Anda lalu membakarnya. Ingat, ini salah satu langkah pemulihan Anda. Jangan tekan amarah Anda.

4. Batasi informasi yang Anda bagikan
Hal ini dapat Anda lakukan apabila Anda memilih untuk tetap melihat dan menghabiskan waktu dengan keluarga toxic Anda. Anda akan secara emosional lebih aman, karena tidak banyak informasi yang dapat berpotensi "menyerang" Anda. Cobalah untuk menjaga percakapan lebih umum dan dangkal, hal itu akan lebih aman bagi Anda.

5. Sadarilah bahwa tidak semua orang bisa dan mau berubah
Pada umumnya, kebanyakan orang akan sulit untuk mengakui kesalahan sendiri (mungkin termasuk diri kita sendiri). Bahkan lebih banyak justru balik menjadi agresif ketika mereka dihadapkan dengan kesalahan tersebut. Oleh karena itu, akan lebih baik bila Anda juga dengan cepat menyadari bahwa tidak semua orang dapat berubah dan mau berubah karena hal itu akan melukai ego mereka sendiri. Namun, Anda masih dapat merubah diri Anda sendiri dengan cara merubah respon Anda terhadap perilaku toxic mereka. 

6. Jangan menyalahkan perilaku buruk Anda pada masa kecil Anda
Anda sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab pada perilaku Anda sekarang, bukan perilaku orangtua Anda. Anda mungkin merasa pahit, kecewa dan marah namun sikap Anda tidak harus memproyeksikan hal itu. Apa yang terjadi pada masa kecil Anda memang bukan pilihan Anda, tapi apa yang terjadi sekarang adalah pilihan Anda. 


Demikian sedikit pembahasan mengenai dysfunctional family kali ini. Mungkin memang tidak dalam namun disini saya mencoba agar Anda dapat sedikit memahami keluarga Anda dengan perspektif psikologi. Semoga dapat membantu bagi Anda, karena sedikit saja Anda berniat memahami, percayalah itu merupakan salah satu langkah untuk pemulihan diri. Sekian dan terima kasih.




Daftar Pustaka

https://www.betterhelp.com/advice/family/dysfunctional-family-what-it-is-and-what-its-like-to-grow-up-in-one/
https://static1.squarespace.com/static/57ec3df6f5e231ada41bb9cc/t/57ed53a537c58182f816d1cc/1475171237566/Dysfunctional+Families.pdf

Kopsztjn, Maria.(2015) Family and Its Problems. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/ZN_Ped_2015_10_Kopsztejn_Maria.pdf

Marzec, H. (2001). Dziecko w rodzinie z ubóstwem materialnym. Łowicz. 

Mellibruda, J. (2005). Charakterystyka zjawiska przemocy w rodzinie. W: Przewodnik do realizacji ustawy z dnia 29 lipca 2005 roku o przeciwdziałaniu przemocy w rodzinie. Pobrano z lokalizacji: www.niebieskalinia.pl.

Minkiewicz, A. (red.) (2003). Patologia społeczna wśród młodzieży. Stan, metody analizy i sposoby przeciwdziałania. Warszawa

Wills-Brandon, C. (1996). Jak mówić nie i budować udane związki. Gdańsk


2 komentar:

:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::

Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....      Pernah tidak merasa emos...