
When the outer world is silenced, the inner world goes wild...
Kira-kira perilaku apa yang sering kalian dengar jika berkaitan dengan adiksi?
Adiksi games? internet? atau seks? Banyak sekali perilaku yang tadinya mungkin normal, tapi karena ketagihan justru menjadi tidak normal. Topik kali ini, saya akan membahas tentang perilaku yang sebenarnya sangat biasa dan umum dilakukan semua orang, namun dapat menjadi gangguan ketika perilaku tersebut berubah menjadi bentuk adiksi.
Siapa yang tidak pernah melamun? Semua orang pasti pernah melakukannya. Dalam ilmu psikologi, melamun sendiri dikategorikan sebagai bentuk disosiasi* non-pathologi (Butler, 2006; Klinger et al, 2009). Aktivitas melamun yang normal, biasanya fantasi didalamnya tidak terlalu fantastis (Klinger & Cox, 1987). Selain itu, melamun yang "normal" justru memiliki fungsi adaptif seperti perencanaan masa depan, kreatifitas dan pemecahan masalah, dan memungkinkan individu menggunakan informasi untuk tujuan yang penting (McMillan, Kaufman, & Singer, 2013; Schooler et al., 2011). Yang menjadi masalah adalah ketika individu lebih menyukai dunia imajinasi dibanding dengan dunia nyata. Melamun memang bukan sebuah gangguan mental, namun jika sampai mengganggu kehidupan sehari-hari individu tersebut, kita perlu melihatnya dari sudut pandang klinis sebagai suatu bentuk patologi. Oleh karena itu, kali ini saya akan membahas tentang Maladaptive Daydreaming Disorder atau gangguan melamun berlebihan, tujuannya agar kita dapat lebih sadar bahwa perilaku sederhana seperti melamun pun dapat menjadi gangguan mental apabila "disalahgunakan" dan tidak ditangani dengan benar.
Maladaptive Daydreaming (MD) pertama kali diteliti oleh Psikolog Klinis dari Israel, Eliezer Somer. Somer (2002) mendefinisikan Maladaptive Daydreaming (MD) sebagai kegiatan fantasi yang intens sehingga dapat mengalihkan individu dari interaksi manusia sampai mengganggu fungsi akademik, interpersonal, atau pekerjaan. Dalam hal ini, melamun sudah menjadi bentuk perilaku adiksi. Sebelum membahas lebih jauh mengenai MD, akan lebih baik kalau kita terlebih dahulu mengetahui bagaimana perilaku adiksi dapat menjadi perilaku yang bersifat maladaptive.
Adiksi games? internet? atau seks? Banyak sekali perilaku yang tadinya mungkin normal, tapi karena ketagihan justru menjadi tidak normal. Topik kali ini, saya akan membahas tentang perilaku yang sebenarnya sangat biasa dan umum dilakukan semua orang, namun dapat menjadi gangguan ketika perilaku tersebut berubah menjadi bentuk adiksi.
Siapa yang tidak pernah melamun? Semua orang pasti pernah melakukannya. Dalam ilmu psikologi, melamun sendiri dikategorikan sebagai bentuk disosiasi* non-pathologi (Butler, 2006; Klinger et al, 2009). Aktivitas melamun yang normal, biasanya fantasi didalamnya tidak terlalu fantastis (Klinger & Cox, 1987). Selain itu, melamun yang "normal" justru memiliki fungsi adaptif seperti perencanaan masa depan, kreatifitas dan pemecahan masalah, dan memungkinkan individu menggunakan informasi untuk tujuan yang penting (McMillan, Kaufman, & Singer, 2013; Schooler et al., 2011). Yang menjadi masalah adalah ketika individu lebih menyukai dunia imajinasi dibanding dengan dunia nyata. Melamun memang bukan sebuah gangguan mental, namun jika sampai mengganggu kehidupan sehari-hari individu tersebut, kita perlu melihatnya dari sudut pandang klinis sebagai suatu bentuk patologi. Oleh karena itu, kali ini saya akan membahas tentang Maladaptive Daydreaming Disorder atau gangguan melamun berlebihan, tujuannya agar kita dapat lebih sadar bahwa perilaku sederhana seperti melamun pun dapat menjadi gangguan mental apabila "disalahgunakan" dan tidak ditangani dengan benar.
Maladaptive Daydreaming (MD) pertama kali diteliti oleh Psikolog Klinis dari Israel, Eliezer Somer. Somer (2002) mendefinisikan Maladaptive Daydreaming (MD) sebagai kegiatan fantasi yang intens sehingga dapat mengalihkan individu dari interaksi manusia sampai mengganggu fungsi akademik, interpersonal, atau pekerjaan. Dalam hal ini, melamun sudah menjadi bentuk perilaku adiksi. Sebelum membahas lebih jauh mengenai MD, akan lebih baik kalau kita terlebih dahulu mengetahui bagaimana perilaku adiksi dapat menjadi perilaku yang bersifat maladaptive.
Psikolog mengusulkan beberapa kemungkinan penyebab adiksi. Pertama, individu mengalami adiksi karena kelainan, atau "psikopatologi" yang memanifestasikan dirinya sebagai penyakit mental. Kedua, individu dapat mempelajari perilaku tidak sehat sebagai respons terhadap lingkungannya. Ketiga, pikiran dan kepercayaan individu dapat menciptakan perasaan mereka, yang pada akhirnya menentukan perilaku mereka. Sejauh pemikiran dan keyakinan seseorang tidak realistis atau disfungsional, perilaku mereka juga akan terpengaruh. Menurut Thombs (2006) adiksi sebagai perilaku maladaptif, tidak dianggap sebagai suatu dosa atau penyakit tetapi merupakan suatu masalah perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, sosial dan kognitif. Pada persepsi ini, pecandu merupakan korban dari adanya destructive learning conditions. Oleh karena itu, “maladaptif” dapat dipahami sebagai pola perilaku yang memiliki konsekuensi - konsekuensi buruk bagi diri pecandu dan atau keluarganya.
MD berbeda dengan skizofrenia, karena penderita MD menyadari bahwa fantasinya tidak nyata. Sedangkan penderita skizofrenia, justru tidak dapat membedakan mana yang fantasi mana yang nyata. Gambaran fantasi penderita MD umumnya sangat jelas dan kompleks, bahkan memiliki karakter, plot dan pengaturan cerita yang terperinci. Individu dengan MD memiliki fantasi yang sangat memuaskan yang melibatkan tema-tema seperti romansa, hubungan dengan selebriti, pemenuhan harapan, dan versi ideal dirinya sendiri (Bigelsen,
Lehrfeld, Jopp, & Somer, 2016). Penderita MD cenderung mengekspresikan emosi mereka dalam imajinasinya sehingga seringkali sulit untuk melepas karakter yang mereka ciptakan dalam imajinasinya.
Adapun beberapa symptom yang ditunjukkan dari penderita MD, antara lain
- Penderita biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk tidur di malam hari (karena sibuk melamun) atau bangun di pagi hari (terlalu lelah melamun sehingga kurang tidur)
- Penderita secara terus menerus atau secara obsesif menginginkan cerita atau situasi fiksi di pikirannya
- Penderita secara konsisten sulit untuk fokus
- Saat melamun, penderita cenderung melakukan gerakan berulang
- Membuat ekspresi wajah saat melamun
- Berbisik dan berbicara sambil melamun
- Durasi melamun sangat lama dari menit sampai berjam-jam
Individu dengan MD menemukan kemampuan mereka untuk mengaktifkan fantasi fantastis selama masa kanak-kanak. Beberapa penderita MD umumnya memiliki kesulitan sosial dan emosional di masa kecil yang berkelanjutan. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan aktivitas melamun untuk mendapatkan dukungan emosional, kompetensi, dan pengakuan sosial sebagai kompensasi emosional (Somer, et al, 2016).
Gangguan MD biasanya berkembang sebagai bentuk mekanisme pertahanan individu dalam mengatasi masalah-masalah lain yang berakar pada jiwa, seperti misalnya pelecehan, depresi, ketakutan, kecemasan, kesepian dll. Dalam hal ini, MD menjadi cara bagi individu untuk selamat dari trauma psikologis, baik ringan maupun berat (Somer & Herscu, 2017).
Dengan kata lain, individu yang menderita dari lingkungan kasar dan menderita gangguan kecemasan sosial dapat mengembangkan MD sebagai sarana untuk melarikan diri dari kenyataan pahit ke dunia internal yang aman.
MD memiliki pemicu yang tidak terbatas, diantaranya seperti musik, film, peristiwa nyata, trauma baru, kecemasan dan stress. Pemicu ini, dapat dengan mudah menarik kembali penderita untuk tenggelam dalam gangguan MD. Sehingga jika kita hanya mencoba "menjauhi" aktifitas melamun saja untuk terlepas dari MD, hal itu tidak akan cukup. Secara sederhana, MD adalah masalah ekspresi, begitu juga dengan psychological addiction. Apa yang tidak diungkapkan sebagai perasaan atau emosi, akan terdistorsi dan diekspresikan sebagai keinginan. Adiksi adalah kompensasi yang lahir dari ketidakberdayaan kita untuk mengungkapkan apa yang diinginkan atau dirasakan. Jika ada keinginan dibawah alam sadar kita yang "berteriak" untuk dilepaskan namun entah bagaimana tidak muncul secara sadar maka hal itu berubah menjadi keinginan. Dan apabila keinginan tersebut sudah terlalu banyak dan tidak muncul juga dalam bentuk emosi yang diekspresikan, maka terjadilah isolasi emosional.
*Kondisi dimana individu masuk ke dunia internalnya sendiri dan memisahkan diri dari lingkungan terdekatnya.
Sumber Gambar: https://daydreamresearch.wixsite.com/md-research/md-art
Daftar Pustaka:
https://www.healthline.com/health/mental-health/maladaptive-daydreaming#outlook
https://medium.com/@georgiachallenger/maladaptive-daydreaming-disorder-fe4a15ff44f4
https://exploringyourmind.com/maladaptive-daydreaming/
https://maladaptivedaydreamingguide.wordpress.com/
Butler, L. D. (2006). Normative dissociation. Psychiatric Clinics of North America, 29(1), 45-62.
Klinger, Eric. "Daydreaming and fantasizing: Thought flow and motivation." (2009).
Klinger, E., & Cox, W. M. (1987). Dimensions of thought flow in everyday life. Imagination,
Cognition and Personality, 7, 105–128. http://dx.doi .org/10.2190/7K24-G343-MTQW-115V
McMillan, R. L., Kaufman, S. B., & Singer, J. L. (2013). Ode to positive constructive daydreaming. Frontiers in Psychology, 4, 626. http://dx.doi.org/ 10.3389/fpsyg.2013.00626
Somer, E. (2002). Maladaptive daydreaming: A qualitative inquiry. Journal of Contemporary Psychotherapy, 32(2), 197–212.
Somer, E., Dudek, N. S., Ross, C. A., & Halpern, N. (2017). Maladaptive Daydreaming: Proposed Diagnostic Criteria and Their Assesment With a Structured Clinical Interview. Psychology of Consciousness: Theory, Research, and Practice 2017, Vol. 4, No. 2, 176 –189. http://dx.doi.org/10.1037/cns0000114
Somer, E. (2013). From adaptive fantasy to dissociative psychopathology: On forms of daydreaming. Clinical Corner, ISSTSD News, 31(2), 3–4
Somer, E., Somer, L., & Jopp, S. D. (2016a). Childhood Antecendents and Maintaining Factors in Maladaptive Daydreaming. Journal of Nervouse and Mental Disease, 204 (6), 471-478 https://doi.org/10.1097/NMD.0000000000000507
Somer, E., Somer, L., & Jopp, S. D. (2016b). Parallel Lives: A Phenomenological Study of The Lived Experience of Maladaptive Daydreaming. Journal of Trauma and Dissosiation 17 (5), 561 - 576 https://doi.org/10.1080/15299732.2016.1160463
Somer, E. & Herscu, O. (2017). Childhood Trauma, Social Anxiety, Absorption and Fantacy Dependence: Two Potential Mediated Pathways to Maladaptive Daydreaming. . J Addict Behav Ther Rehabil 2017, 6:4
Somer, E. & Dudek, N. S. (2018). Trapped in A Daydream: Daily Elevations in Maladaptive Daydreaming are Associated with Daily Psychopatological Symptoms. Front. Psychiatry 9:194. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00194
Thombs, D. L. (2006). Introduction to Addictive Behaviors (Third Edition). The Guilford Press. New York.
Somer, E., Somer, L., & Jopp, S. D. (2016a). Childhood Antecendents and Maintaining Factors in Maladaptive Daydreaming. Journal of Nervouse and Mental Disease, 204 (6), 471-478 https://doi.org/10.1097/NMD.0000000000000507
Somer, E., Somer, L., & Jopp, S. D. (2016b). Parallel Lives: A Phenomenological Study of The Lived Experience of Maladaptive Daydreaming. Journal of Trauma and Dissosiation 17 (5), 561 - 576 https://doi.org/10.1080/15299732.2016.1160463
Somer, E. & Herscu, O. (2017). Childhood Trauma, Social Anxiety, Absorption and Fantacy Dependence: Two Potential Mediated Pathways to Maladaptive Daydreaming. . J Addict Behav Ther Rehabil 2017, 6:4
Somer, E. & Dudek, N. S. (2018). Trapped in A Daydream: Daily Elevations in Maladaptive Daydreaming are Associated with Daily Psychopatological Symptoms. Front. Psychiatry 9:194. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00194
Thombs, D. L. (2006). Introduction to Addictive Behaviors (Third Edition). The Guilford Press. New York.
-