Rabu, 25 Desember 2019

::: Self-Forgiveness: Life is too short to spend at war with yourself :::


Hasil gambar untuk self forgiveness

Saat orang lain melakukan kesalahan pada diri Anda, Anda mungkin dapat memilih untuk memaafkannya atau tidak. Akan tetapi, jika yang melakukan kesalahan adalah diri sendiri, memaafkan atau tidak bukanlah suatu pilihan. Anda tidak bisa berhenti, berpisah dan menjauh dari diri sendiri. Untuk tetap menjalin hubungan dengan diri sendiri secara positif, Anda harus memaafkan diri Anda. Akan tetapi, memaafkan diri sendiri merupakan hal yang sulit bagi sebagian orang, karena terkadang Anda akan ragu apakah diri Anda berhak mendapatkan pengampunan atau mungkin Anda tidak tahu cara memaafkan, intinya akan muncul rasa tidak enak dalam diri Anda. Namun pikirkanlah, bahwa kita semua adalah makhluk yang tidak sempurna, dan kita berhak mendapatkan pengampunan.

Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan self-forgiveness? Enright, dkk (1996) mendefinisikan self- forgiveness sebagai keinginan untuk meninggalkan kekesalan terhadap diri sendiri dalam menghadapi kesalahan dengan cara membina kasih sayang dan murah hati terhadap diri sendiri. Jika Anda sudah memahami pentingnya konsep memaafkan diri sendiri, Anda dapat menerapkan langkah berikut untuk mulai memaafkan diri Anda sendiri.

1. Fokus pada emosi Anda
Untuk mulai memaafkan diri sendiri, hal pertama yang dapat Anda lakukan adalah mengenali dan mengakui emosi yang muncul dalam diri Anda. Misalnya ketika muncul perasaan bersalah, Anda dapat mengidentifikasi emosi apa saja yang ikut muncul dalam diri Anda pada kondisi tersebut. Apakah emosi sedih, marah, takut, iba atau yang lainnya. Pikirkan juga mengapa Anda merasakan emosi tersebut. Selanjutnya, Anda dapat mulai menanamkan pemikiran bahwa wajar jika Anda merasakan emosi tersebut namun tidak seharusnya emosi tersebut menjadi beban bagi Anda untuk melanjutkan hidup. Anda tidak akan bisa memaafkan diri Anda sendiri jika Anda tidak melepaskan emosi dan kepercayaan yang mendasarinya. 

2. Akui kesalahan Anda 
Ketika Anda sudah mampu menyadari emosi apa saja yang menghambat Anda untuk memaafkan diri Anda sendiri, hal selanjutnya cukup sulit dilakukan, Anda harus berani mengakui bahwa diri Anda telah gagal.  Anda perlu mengakui kesalahan tersebut. Hal itu mungkin terasa berat dan menakutkan, namun ketika Anda menyuarakan pikiran dan emosi Anda (terkait kesalahan Anda), Anda dapat membebaskan diri dari beban tersebut dan secara tidak langsung menanamkan dalam benak Anda konsekuensi apa yang dipelajari dari tindakan tersebut. Anda perlu menanamkan mindset bahwa kesalahan adalah bagian dari menjadi manusia, begitulah cara Anda belajar dan tumbuh. Ketika Anda mengakui emosi Anda, hargai bahwa ternyata Anda sudah cukup sadar diri dan mampu berempati bahwa Anda telah melakukan kesalahan. 

3. Pikirkan setiap kesalahan sebagai pengalaman belajar
Ingatkan diri sendiri bahwa Anda telah melakukan yang terbaik dengan segala yang Anda miliki saat itu. Pemikiran ini akan membantu Anda untuk memaafkan diri sendiri. Anda tentu tidak akan melakukan kesalahan itu bila Anda tahu hal tersebut akan menyakiti orang lain atau diri Anda kan? Bahkan jika Anda tahu bahwa tindakan Anda akan  menyebabkan kerusakan atau menyakiti orang lain, Anda tidak akan tahu seberapa besar penyesalan Anda nantinya. Pertahankan apa yang bisa Anda pelajari, tapi lepaskan masa lalu Anda. Anda perlu menerima apa yang terjadi, memahami bagaimana dan mengapa itu terjadi dan melihat semua dampaknya. Anda perlu menerima bahwa tidak ada yang dapat Anda lakukan untuk merubah masa lalu.

4. Beri diri Anda izin untuk menunda proses ini
Jika Anda masih belum mampu dan kesulitan untuk mengeluarkan pikiran dan emosi Anda, Anda dapat memvisualisasikan pikiran dan emosi Anda ke dalam "wadah". Katakan pada diri Anda bahwa Anda akan kembali ke "wadah" tersebut jika waktunya sudah tepat.

5. Berkomunikasi dengan kritik dalam diri
Menulis jurnal dapat membantu Anda untuk berkomunikasi dengan kritik dalam diri Anda. Dalam hal ini Anda dapat mengidentifikasi pola pikir apa yang menghambat Anda untuk memaafkan diri sendiri. Melalui jurnal, Anda juga dapat menulis daftar kekuatan dan keterampilan Anda, sehingga dapat Anda gunakan ketika merasa menyesal terhadap kesalahan yang Anda buat. Hal ini penting karena Anda akan cenderung memiliki pemikiran negatif terhadap diri sendiri, namun dengan mengingat bahwa masih ada hal positif dalam diri Anda, itu akan membantu untuk  menetralisir pemikiran negatif tersebut.

6. Perhatikan saat Anda berpikir kritis terhadap diri sendiri
Pikiran Anda adalah bentuk kritik terburuk dari diri Anda sendiri. Tulislah ketika kritik tersebut muncul dari dalam diri. Kemudian, tulislah respon rasional dari kritik tersebut. Hal itu akan membantu Anda untuk "melangkah" dari segala hambatan Anda selama ini untuk memaafkan diri Anda. Selain itu, terkadang alasan kita merasa bersalah, karena sesungguhnya apa yang sudah kita lakukan adalah "batas moral" kita atau tidak sejalan dengan moral kita. Sehingga dalam hal ini, secara tidak langsung Anda bisa sekaligus menentukan dengan jelas batas moral Anda berdasarkan kesalahan yang sudah Anda perbuat. 

7. Pahami apa yang Anda inginkan
Jika kesalahan yang Anda buat menyakiti orang lain, Anda perlu menentukan tindakan terbaik. Apakah Anda ingin berbicara dan meminta maaf? Apakah penting untuk berdamai dan menebus kesalahan? Anda akan lebih mudah memaafkan diri sendiri jika dapat menebus kesalahan. Pikirkan apa yang terjadi dalam hidup Anda, yang membuat Anda melakukan apa yang telah Anda lakukan. Apa kebutuhan yang Anda coba penuhi? Pengalaman apa yang akhirnya Anda miliki? Ini bukanlah alasan atau membenarkan apa yang Anda lakukan, namun jika Anda sudah mengetahui alasan apa yang mendasari Anda melakukan kesalahan tersebut, Anda akan lebih bisa menemukan cara yang lebih konstruktif untuk memenuhi kebutuhan yang sama di masa depan. 

8. Ambil saran Anda sendiri
Seringkali lebih mudah memberitahu orang lain apa yang harus dilakukan daripada mengikuti saran sendiri. Oleh karena itu, Anda dapat melakukan roleplay dengan teman Anda (jika memungkinkan) terkait kesalahan Anda dan menjadi pemberi saran. Atau tanyakan kepada diri Anda sendiri " Apa yang bisa saya lakukan untuk bisa memastikan saya tidak melakukan kesalahan yang sama lagi?". Dalam hal ini Anda dapat melakukan "Re-Do" untuk memperbaiki suatu kesalahan dengan cara yang berbeda.

9. Tunjukkan kebaikan dan kasih sayang
Jika respon Anda terhadap situasi negatif adalah mengkritik diri sendiri, inilah saatnya menunjukkan belas kasih dan kebaikan pada diri sendiri. Berikan pikiran dan tubuh Anda dari rasa bersalah dengan cara bersyukur dan berterimakasih. 

 Demikian beberapa saran yang dapat saya sampaikan untuk membantu Anda dalam mencapai self-forgiveness. Semoga membantu :)

Hasil gambar untuk self forgiveness

Daftar Pustaka


Sabtu, 09 November 2019

::: Teach People How to Treat You :::

Sebelum memulai topik kali ini, saya akan ajukan beberapa pertanyaan berikut....
  • Apakah Anda sering merasa marah atau kesal karena Anda merasa dimanfaatkan?
  • Apakah Anda pernah "melawan" nilai atau hak pribadi Anda hanya untuk menyenangkan orang lain?
  • Apakah Anda pernah merasa harus selalu "menyelamatkan" orang-orang terdekat Anda dan memperbaiki masalah mereka sepanjang waktu?
  • Apakah Anda pernah merasa buruk atau  bersalah ketika mengatakan tidak?
  • Apakah Anda memberitahu orang lain betapa Anda membenci "drama" namun kenyataannya Anda seringkali berada di dalam situasi tersebut?
  • Apakah Anda memilih diam ketika Anda diperlakukan dengan buruk?
  • Apakah Anda menghabiskan banyak waktu  membela diri untuk hal-hal yang Anda yakini bukanlah kesalahan Anda? 
Jika Anda menjawab "Ya" pada sebagian pertanyaan tersebut, bisa jadi Anda memiliki isu dalam hal

Hasil gambar untuk healthy personal boundaries



Oleh karena itu, kali ini saya akan mengajak Anda untuk bisa melindungi diri Anda sendiri dengan menerapkan Healthy Personal Boundaries. Namun sebelumnya, Anda perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan boundary dan bagaimana konsep tersebut dapat berpengaruh besar dalam hidup Anda.

Secara harfiah, boundary adalah segala sesuatu yang menandai batas. Anda mungkin pernah mendengar seseorang berkata "Anda baru saja melebihi batas". Nah, boundary disini menandai perbedaan antara perilaku yang tidak menyebabkan kerusakan emosional dengan perilaku yang menyebabkan kerusakan emosional. Boundary memberikan cara bagi setiap individu untuk mempertahankan identitas dan ruang pribadi mereka sendiri dalam hubungan profesional maupun pribadi. Pada dasarnya, boundary dapat membantu Anda menentukan bagaimana Anda ingin diperlakukan dan jenis interaksi apa yang ingin Anda terima dari orang lain. Semua orang berhak melindungi diri sendiri dari kerusakan emosional. Penting untuk diketahui bahwa boundary berbeda dengan psychological defenses. Jika psychological defenses berasal dari masa kanak-kanak dan bersifat unconsciously, boundary justru dibuat dengan sadar dan merupakan cara untuk melindungi diri kita dari kerusakan emosional. Lalu, apa yang dimaksud dengan Healthy Personal Boundaries? Healthy personal boundaries yakni Anda membuat batasan fisik, emosional dan mental untuk melindungi diri dari manipulasi, penggunaan, atau pelanggaran oleh orang lain. Anda  bertanggung jawab atas tindakan dan emosi Anda sendiri bukan bertanggungjawab atas tindakan dan emosi orang lain.  

But, by the way mengapa konsep boundary penting untuk dibahas? Anda tahu bahwa semua orang pasti menginginkan hidup ideal dimana masing - masing individu berintaraksi secara harmonis. Akan tetapi, tidak semua situasinya seperti itu, justru banyak dari kita yang mau tidak mau justru berinteraksi dengan orang yang tidak kooperatif atau bahkan manipulatif. Oleh karena itu, dalam hal ini penting bagi setiap individu untuk menetapkan boundary. Boundary akan bertindak sebagai filter yang memungkinkan apa yang dapat diterima dalam hidup Anda dan yang tidak dapat diterima. Selain itu, belajar untuk menetapkan boundary diperlukan untuk mempertahankan konsep diri yang positif. Jika Anda memiliki healthy personal boundaries, Anda akan mampu mengkomunikasikan harga diri Anda dan tidak akan membiarkan diri Anda didefinisikan oleh orang lain. Healthy personal boundaries membantu kita untuk menyadari bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki emosi, kebutuhan dan preferensi yang berbeda-beda. Akan tetapi, tidak semua orang "berani"  dan mengalami kesulitan untuk menetapkan boundary. Hal ini karena ketika Anda menetapkan boundary, Anda cenderung akan dianggap "melawan" sehingga banyak orang justru bersikap pasrah ketika diperlakukan kurang hormat oleh orang lain. Oleh karena itu, disini saya akan membahas bagaimana caranya agar Anda dapat menetapkan, mempraktekkan dan mempertahankan healthy personal boundaries

a. Hal pertama yang harus Anda lakukan adalah memasang mindset bahwa diri Anda adalah seseorang yang berharga. Jika Anda memiliki mindset ini, Anda tidak akan mudah mentolerir resistensi Anda terhadap segala perlakuan yang menyebabkan kerusakan emosional. Anda akan lebih mudah menolak segala hal yang dapat menurunkan "nilai" Anda. Dalam hal ini, Anda memiliki hak dan bertanggungjawab atas cara Anda membiarkan orang lain memperlakukan Anda.

b. Setelah menyiapkan mindset, Anda perlu mengidentifikasi perilaku orang lain antara yang dapat diterima dengan yang tidak (menyebabkan ketidaknyamanan dan kesulitan). Hal ini penting, Anda tidak akan bisa menetapkan boundary yang sehat apabila Anda tidak yakin dengan posisi Anda. Identifikasi keterbatasan fisik, emosi, mental dan spiritual Anda. Pada umumnya, tanda ketika suatu  tindakan sudah melebihi boundary kita, maka perasaan yang muncul adalah ketidaknyamanan dan kebencian. Anda mungkin bisa membuat list "I hate...."

c. Anda perlu mengkomunikasikan setiap boundary Anda terhadap orang lain secara tegas dan terbuka. Dalam hal ini, jangan menganggap orang lain akan langsung menerima boundary yang Anda tetapkan. Namun Anda tetap perlu mempertahankan boundary tersebut. Biarkan orang lain tahu kapan mereka telah melewati batas, bertindak tidak patut atau tidak menghormati Anda dengan cara apapun. Misalnya, ketika ada orang yang berkata kasar pada Anda, Anda dapat memberitahu bahwa Anda tidak menyukai perkataan atau tindakannya tersebut, dan jika masih terus berlanjut, Anda bisa pergi meninggalkannya. Intinya, Anda perlu memberanikan dan "mengizinkan" diri Anda untuk menetapkan, mengkomunikasikan dan mempertahankan boundary Anda. Bahkan bila perlu, teruslah untuk mengkomunikasikan boundary Anda kepada orang lain, sehingga orang lain dapat sadar apabila boundary Anda telah dilewati.

d. Terkait dengan mengkomunikasikan boundary Anda, penting untuk mengkomunikasikannya secara asertif. Berikut beberapa kalimat yang dapat Anda gunakan:
- Katakan "Tidak", untuk melindungi diri Anda sendiri dari apa yang orang lain inginkan dari diri
   Anda
- "Saya tidak bisa melakukan itu sekarang, saya akan melakukannya nanti"
- " Saya lebih suka untuk tidak membahas ini"
- "Saya mengerti apa yang Anda inginkan, tapi itu bertentangan dengan nilai-nilai saya. Jadi saya
    tidak akan melakukannya"
- "Itu masalah pribadi yang tidak ingin saya diskusikan"
- "Ini bukan tanggung jawab Anda, saya akan mengurusnya sendiri"
- "Itu bukan urusanmu" Itu adalah respon yang benar jika dikatakan dengan lembut, tenang sambil
    tersenyum.
- "Saya sudah menjelaskan pendapat saya tentang masalah ini. Saya tidak ingin membahasnya lebih
    lanjut"
- " Saya sudah mengatakan "Tidak", dan saya tidak akan berdebat dengan Anda
    tentang hal itu"

e. Menetapkan healthy personal boundaries bisa jadi merupakan suatu keterampilan baru yang memang perlu dilatih. Jadi, Anda bisa memulainya dengan boundary yang bersifat ringan atau kecil, jika sudah terbiasa Anda bisa melanjutkannya dengan boundary yang menurut Anda lebih  berat atau menantang. 

Intinya, Anda perlu melindungi diri Anda dari apa yang dilakukan orang lain terhadap Anda dengan menyatakan konsekuensinya. Jika Anda memberitahu orang lain apa yang harus dilakukan, hal itu justru memicu konflik. Strategi yang perlu Anda lakukan adalah membuat pernyataan dimana Anda menyatakan apa yang akan Anda lakukan jika orang lain melakukan sesuatu yang bertentangan dengan preferensi Anda.  Menetapkan boundary membutuhkan keberanian, latihan dan dukungan. Jika Anda sudah memiliki healthy personal boundaries, itu berarti menolong diri Anda sendiri untuk tetap sehat dan fit secara emosional. Jika Anda sudah berhasil menolong diri Anda sendiri, Anda akan mampu menolong orang lain. Demikian pembahasan singkat tentang Healthy Personal Boundaries,  semoga membantu :)

Hasil gambar untuk healthy personal boundaries quotes
Daftar Pustaka
https://markmanson.net/boundaries
https://psychcentral.com/lib/10-way-to-build-and-preserve-better-boundaries/
https://www.essentiallifeskills.net/personalboundaries.html



Sumber Gambar:
https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&ved=2ahUKEwjM7PbNh9_lAhXMLo8KHUnCB6EQjRx6BAgBEAQ&url=https%3A%2F%2Fwww.his-story.org%2Fevent%2Ftues-boundaries-educational-class%2F&psig=AOvVaw1YpnOKn_QIjep3iYv95quY&ust=1573455163404435
https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjy0IOsiN_lAhWIknAKHYOXD1AQjRx6BAgBEAQ&url=%2Furl%3Fsa%3Di%26source%3Dimages%26cd%3D%26ved%3D%26url%3Dhttp%253A%252F%252Fblogs.psychcentral.com%252Fimperfect%252F2016%252F06%252Fquotes-healthy-boundaries%252F%26psig%3DAOvVaw3vmTZEZQWNes454xiQXdte%26ust%3D1573454815963199&psig=AOvVaw3vmTZEZQWNes454xiQXdte&ust=1573454815963199

Minggu, 29 September 2019

::: Self Reparenting Your Inner Child :::





Hasil gambar untuk self reparenting quotes
Topik kali ini sebenarnya sudah menarik perhatian saya bahkan sebelum saya memutuskan untuk melakukan sesi konsultasi ke psikolog. Saya memang sempat mencari cara alternatif untuk dapat menyelesaikan masalah pribadi saya, tanpa harus melibatkan "orang luar", dalam hal ini psikolog. Maka, sampailah saya pada konsep "Self-Reparenting". Konsep yang hampir sama seperti Anda datang ke psikolog untuk membantu  menyelesaikan masalah Anda. Namun mudahnya, dapat Anda lakukan sendiri. Saya pikir ini akan membantu bagi orang di luar sana yang mungkin masih menganggap tabu perihal datang ke psikolog, namun tetap ingin pulih dan tumbuh. Konsep ini juga tidak terbatas digunakan hanya pada orang yang memiliki gangguan klinis, namun jika Anda merasa bahwa Anda memiliki masalah dari masa kecil Anda dan mempengaruhi kehidupan Anda saat ini. Konsep ini bisa jadi akan sangat membantu. 

Ketika Anda menemui psikolog untuk berkonsultasi, tentu Anda bertujuan menyelesaikan masalah Anda dengan bantuan dari psikolog tersebut. Akan tetapi, pada dasarnya interaksi antara Anda dengan psikolog tidak lain adalah bentuk reparenting, yang mana seorang psikolog mengambil peran sebagai orangtua yang peduli dan dapat dipercaya sehingga klien dapat belajar seperti apa hubungan saling percaya. Adapun yang ditekankan pada self-reparenting adalah, Anda sendiri yang menjadi agen utama dari terapi, bukan si terapis/psikolog. Reparenting akan membantu Anda untuk memperbaiki konsep attachment pada diri Anda dan mengembangkan hubungan yang lebih sehat. Reparenting sendiri didasarkan pada keyakinan bahwa banyak masalah psikologis berasal dari seorang anak yang tumbuh  dengan kebutuhan "psikologis" yang tidak terpenuhi. 

Terdapat 3 aspek dari self-reparenting, yakni orang dewasa, inner child, dan orang tua. Orang dewasa disini adalah kondisi Anda saat ini, dimana Anda sudah tumbuh menjadi seorang dewasa. Inner child adalah diri Anda saat masa kanak-kanak yang teraniaya atau tersakiti. Orangtua dalam konsep self- reparenting adalah Anda sendiri yang memberikan respons tepat yang seharusnya diterima inner child dalam diri Anda sendiri. Self- reparenting adalah kondisi Anda sebagai orang dewasa yang diperlakukan kembali sebagai anak kecil untuk memuaskan dan berdamai dengan inner child dalam diri Anda. Hal itu dilakukan dengan memberikan respons yang memuaskan dan untuk memenuhi kebutuhan psikologis Anda pada masa kanak-kanak dengan konseling atau terapi mandiri.

Berbicara tentang inner child, kita semua memiliki sejarah sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan, peristiwa dan orang-orang penting di sekitar kita. Inner child akan menyimpan ingatan tersebut yang pada akhirnya berdampak pada diri Anda yang sekarang. Pada masa kanak-kanak, Anda akan membuat keputusan di tingkat bawah sadar mengenai bagaimana "seharusnya" Anda, dan apa yang "harus" Anda lakukan agar dipandang baik dan diizinkan untuk tetap di sekitar dan "bertahan" dalam keluarga. Dalam konsep self-reparenting yang menjadi bagian utama adalah bagaimana Anda menghubungi, memahami, merangkul dan menyembuhkan inner child dalam diri Anda. Ketika Anda "menyembuhkan" inner child dalam diri Anda, hal itu membantu Anda langsung ke inti permasalahan , Anda dapat mengetahui kapan masalah Anda dimulai sehingga dapat diatasi dengan efektif.

Terdapat beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk melakukan self-reparenting, antara lain:

a. Terhubung dengan inner child Anda, Anda dapat kembali mengingat masa kecil Anda lalu menuliskan daftar hal-hal yang membuat Anda senang ketika Anda kecil. Selanjutnya, Anda dapat mengidentifikasi tipe anak seperti apakah Anda di waktu kecil, misalnya anak yang terlantar, anak yang senang bermain-main atau anak yang penakut.
b. Tulislah surat kepada inner child Anda, yang isinya permintaan maaf apabila Anda menjalani kehidupan yang tidak menghormati inner child Anda. Kemudian bentuklah komitmen bahwa Anda akan membangun hubungan yang lebih kuat dengan inner child Anda pada kehidupan saat ini.
c. Perhatikan perasaan Anda, apa yang membuat Anda takut dan tidak aman, atau apa yang membuat Anda gembira.  
d. Setelah terhubung dengan inner child Anda, Anda bisa melanjutkannya dengan "mengasuh" inner child Anda dengan cara-cara berikut ini:
- Memberikan afirmasi seperti mengatakan dalam batin bahwa Anda adalah seorang yang...(isi dengan hal-hal yang positif). 
- Berbicara dengan sisi "adult" Anda untuk menyelesaikan masalah Anda
- Beri diri Anda hadiah harian
- Tidur minimal 8 jam
- Baca literatur dan kutipan yang menginspirasi
- Tulis dalam catatan harian daftar hal-hal yang harus dilakukan setiap hari
- Tetaplah di masa sekarang dengan melatih perhatian
- Pikirkan tentang kenangan indah
- Simpan 1 janji kecil setiap hari. Buatlah janji-janji kecil yang memang bisa Anda tepati, dan tidak lebih dari 10 menit setiap hari. Misalnya, membuat jurnal di malam hari setiap hari.
e. Berhati-hatilah dengan kritik batin Anda.
f. Beri tahu seseorang yang Anda percaya (selain orangtua Anda), bahwa Anda sedang memulai suatu proses. Hal itu akan memberikan dukungan untuk Anda.
g. Tanyakan pada diri Anda sendiri, " Apa yang bisa Anda berikan pada diri saya saat ini?" khususnya ketika Anda merasakan emosi yang kuat. Sebagai orang dewasa, Anda memiliki kesempatan untuk memberikan apa yang dibutuhkan oleh diri Anda sendiri.


Konsep ini sifatnya hanya dapat membantu Anda menganalisa diri sendiri, jika Anda masih merasa perlu untuk berkonsultasi dengan yang lebih ahli terkait permasalahan Anda. Saya sarankan Anda untuk tetap mengunjungi psikolog. Terima kasih.

Hasil gambar untuk self reparenting quotes

Daftar Pustaka

https://thriveglobal.com/stories/what-is-reparenting-and-why-you-should-consider-it/
https://ideapod.com/5-surprisingly-powerful-ways-to-heal-your-wounded-inner-child/
https://yourholisticpsychologist.com/what-is-reparenting-and-how-to-begin/

Sabtu, 27 Juli 2019

::: Learn to survive unresolved grief :::

Hasil gambar untuk unresolved conflict in grief quotes




Kesedihan adalah perasaan yang muncul ketika Anda menderita kehilangan dalam hidup (Harvey, 2007). Banyak teori yang menjelaskan tentang bagaimana menghadapi kesedihan terhadap kehilangan orang-orang yang dicintai atau orang yang begitu signifikan (secara positif) berpengaruh terhadap hidup Anda. Katakanlah, Anda mungkin mempunyai hubungan antar anggota keluarga yang harmonis atau bahkan cukup beruntung karena mengenal dengan baik sosok yang telah wafat tersebut. Akan tetapi, tidak semua orang menghadapi kehilangan anggota keluarga yang memang memiliki hubungan harmonis sebelumnya. Tidak semua orang memiliki hubungan yang harmonis dengan setiap anggota keluarga. Dalam hal ini, ada sisi kesedihan yang jarang dibahas secara umum yakni kesedihan terhadap kehilangan anggota keluarga yang memiliki konflik yang belum selesai dengan kita. Menurut saya, hal ini justru sangat penting karena jika Anda tidak mendapatkan kesempatan untuk resolusi atau rekonsiliasi konflik, maka akan berpengaruh terhadap pemenuhan kesadaran diri Anda. Bagaimana jika Anda pernah atau masih mengalami konflik (dalam bentuk apapun) selama bertahun-tahun dengan anggota keluarga yang sekarang telah wafat? Sehingga ketika Ia wafat, apakah segala macam emosi yang disebabkan dari konflik tersebut ikut "menghilang" atau justru terus menjadi bagian hidup Anda? 

Tidak salah jika Anda memiliki konflik. Namun, konflik tersebut harus diselesaikan. Memang sulit, karena disini Anda memiliki dua emosi yang berlawanan. Di satu sisi Anda merasa sedih karena kehilangan namun Anda juga masih merasa marah atau kecewa akibat konflik yang belum selesai. Selain itu, Anda juga tidak bisa menyelesaikan konflik tersebut secara langsung dengan orang yang bersangkutan. Konflik yang belum selesai hanya akan menghambat penyembuhan alami. Anda akan menghabiskan banyak waktu dan energi yang berlebih hanya untuk mencoba mengulang percakapan yang pernah ada, membuat pernyataan yang tidak pernah disuarakan, atau membayangkan reaksi yang tidak pernah diterima. Hal tersebut tentu menjadi beban jika tidak diselesaikan. 

Oleh karena itu, berikut beberapa cara refleksi diri yang dapat membantu Anda secara perlahan menyelesaikan konflik tersebut.

a. Anda dapat menanyakan pada diri Anda sendiri, pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai
    bentuk refleksi diri.
- Bagaimana keterlibatan masa lalu saya dengan anggota keluarga tersebut sehingga
  menciptakan  rasa  sakit yang saya rasakan sekarang?
- Kapan kemarahan tersebut saya mulai?
- Emosi apalagi yang membuat saya marah?
- Apa yang mencegah saya melepaskan keluhan saya dari masa lalu?
- Bagian mana dari kemarahan yang ingin saya pertahankan dan mengapa?
- Bagaimana kerugian dari masa lalu saya, mengunci saya dalam perasaan marah yang
  berkelanjutan ini?
- Pertanyaan apa yang belum terjawab dari masa lalu yang terus mempengaruhi perasaan
  kemarahan saya (atau emosi lainnya)?

b. Tulislah surat yang ditujukan kepada anggota keluarga yang telah wafat tersebut. Tuliskan semua hal yang mungkin ingin Anda katakan kepadanya. Apa yang Anda ingin orang itu ketahui? Bagaimana orang itu menyakitimu? Apa yang kamu inginkan dari orang itu? Setelah itu, Anda dapat meminta bantuan orang yang Anda percaya untuk "mendengarkan" Anda membaca surat itu. Dukungan tanpa judgment atau penilaian dari orang yang Anda percaya tersebut dapat sangat membantu. Setelah membaca surat tersebut, buatlah pilihan secara sadar untuk melepaskan "emosi negatif" Anda. Anda dapat membakar surat tersebut dan membuangnya untuk merepresentasikan emosi negatif Anda yang ikut hilang.

c. Tulislah surat untuk diri Anda sendiri. Katakan pada diri sendiri mengapa Anda tidak lagi mau berpegang pada keluhan masa lalu? Alasan Anda merasa marah dan pahit serta mengapa Anda tidak mau lagi menyimpan perasaan itu? Tuliskan betapa menyenangkannya hidup Anda jika Anda tidak lagi menyimpan perasaan negatif tersebut. 

Setelah melakukan refleksi diri, Anda dapat sedikit demi sedikit mengatasi rasa sedih Anda atas kehilangan tersebut. Tidak ada cara yang "benar" untuk mengatasi rasa sedih karena kehilangan anggota keluarga. Namun berikut beberapa saran yang dapat Anda pertimbangkan untuk bisa melewati kesedihan tersebut.

a. Biarkan diri Anda berduka. Cobalah untuk mengingat bahwa berduka adalah suatu proses. Anda mungkin akan berduka dengan berbagai cara dan dalam waktu yang berbeda-beda. Dalam hal ini Anda mungkin merasa marah, kesal, mati rasa, tertekan dan cemas yang berlangsung intens. Hal tersebut normal tergantung dengan skala kerugiannya. Kesedihan adalah pengalaman individu yang unik dan orang-orang yang berbeda. Bahkan dalam keluarga yang sama, akan memproses kehilangan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang berbeda dan pada waktu yang berbeda. 
b. Beri diri Anda waktu. Bersikaplah lembut terhadap diri sendiri. Biar bagaimanapun, kehilangan anggota keluarga itu sulit. Tidak ada batas waktu yang pasti untuk memproses kesedihan. Anda perlu mengakui dan merangkul emosi yang ada tanpa merasa bahwa Anda perlu "melupakan" emosi tersebut atau melanjutkannya. Ketika Anda merasa nyaman, Anda bisa meluangkan waktu untuk merenungkan masa lalu dan berpegang pada ingatan yang menyenangkan dengan anggota keluarga yang telah wafat tersebut. Beri diri Anda waktu untuk bersedih sebanyak yang dibutuhkan tanpa stress tambahan dari pekerjaan atau tuntutan hidup lainnya. 
c. Rencanakan hari-hari istimewa. Setelah kehilangan orang yang Anda cintai, Anda mungkin akan mengubah prioritas Anda, seperti menjadi lebih sadar akan pentingnya mendokumentasikan pertemuan dan tradisi keluarga. Anda mungkin juga memiliki apresiasi yang lebih dalam untuk hal-hal yang menciptakan tradisi keluarga.  Anda dapat membuat ritual baru pada hari-hari istimewa seperti hari ulangtahun atau hari peringatan untuk "menangkap" moment yang menggambarkan bagaimana Anda ingin menghormati orang tersebut pada hari-hari itu. 
d. Warisi sikap baik dari anggota keluarga yang wafat.
Walaupun kematian memisahkan Anda dengannya secara fisik, namun hubungan emosional akan terus ada melalui ingatan. Anda dapat mengingat kelebihan apa yang dimilikinya dan dampaknya pada kehidupan Anda dan orang lain. Dengan mewarisi sifat baiknya secara sengaja, untuk sekaligus menghormati mereka, hal itu dapat membantu Anda mengatasi proses dan penyembuhan dari kesedihan. Dalam hal ini, Anda dapat menanyakan pada diri Anda sendiri tentang karakter anggota keluarga Anda tersebut. Seperti misalnya "Karakter apa yang saya dapatkan darinya, yang ingin saya pertahankan? Karakter apa yang tidak saya dapatkan dan saya sesali? Karakter apa yang saya dapatkan namun ingin saya buang? Karakter apa yang saya butuhkan namun tidak bisa saya dapatkan?"
e. Ada banyak yang harus Anda lakukan. Jika ini adalah anggota keluarga pertama Anda yang wafat, Anda tidak hanya akan melalui proses kesedihan sendirian. Namun Anda juga akan melihat kesedihan anggota keluarga lain yang masih hidup. Mereka membutuhkan Anda untuk menghibur mereka dalam kesedihan mereka. Sekarang mungkin menjadi tanggungjawab Anda untuk menjaga anggota keluarga yang masih hidup. Bertanggungjawab atas tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh orang yang meninggal dapat menjadi sesuatu yang menakutkan, baik secara fisik maupun emosional.
f. Cari Dukungan. Bicaralah dengan teman dekat. Tidak seorangpun harus sendirian selama masa berduka. Bersosialisasi membantu Anda memperoleh bantuan untuk mengatasi perasaan sedih Anda. Anda juga dapat bergabung dengan orang lain yang juga sedang berduka seperti Anda. Terhubung dengan anggota keluarga lain yang juga sedang berduka dapat membantu Anda merasa tidak sendirian.
g. Ingat kenangan tentang anggota keluarga Anda. Mereka akan menjadi bagian besar dari hidup Anda tidak perduli apapun, bahkan ketika mereka sudah meninggal. Tuliskan ingatan Anda bersama mereka. Anda hanya perlu tahu bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan tempat itu di hati Anda. Nikmati kenyamanan dalam ingatan yang Anda miliki tentang mereka tanpa terobsesi bahwa Anda perlu mengingat detailnya. 

Beberapa cara diatas hanya alternatif untuk Anda coba. Namun jika yang Anda alami adalah kesedihan yang lebih hebat lagi bahkan hingga menyebabkan depresi dan mengganggu kehidupan/kesedihan berkepanjangan (unresolved grief), Anda perlu berkonsultasi segera ke psikolog. Sekian dari yang bisa saya paparkan, semoga membantu dan sampai jumpa di pembahasan psikologi lainnya. Terima kasih :)


Daftar Pustaka 

Picture:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikn6__4AcTuZ1x3LA11FNMBZQKwhGbaVmx5NOcq3OoriF8HG_m9Z91YbSsv4LvdARCQeph-E5IV_HeYnxNbWlcuu54nNr3h8PScEmhpAYE6G8JNZ1yANJxTCkIDl2qXHJL9QzQ6HjiYOCU/s1600/woman-tear-smile.jpg
https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&ved=2ahUKEwjRnI2Oh9XjAhV67nMBHcSCBmMQjRx6BAgBEAU&url=https%3A%2F%2Fideas.hallmark.com%2Farticles%2Fsympathy-ideas%2Fcomforting-grief-quotes%2F&psig=AOvVaw1KyjZmZCVhV3HUj_ucOZDC&ust=1564315341655017

Sabtu, 18 Mei 2019

::: Dysfunctional Family: Let them deal with what they have created :::


Hasil gambar untuk dysfunctional family toxic family quotes
Keluarga sudah menjadi objek yang menarik bagi setiap pembahasan dalam berbagai ilmu, seperti pedagogi, sosiologi dan psikologi. Secara umum, semuanya bertujuan untuk dapat mengidentifikasi sejauh apa peran keluarga mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan sosial dari individu.  Hal ini karena keluarga adalah lingkungan dasar dan alami bagi perkembangan manusia. Namun bagaimana apabila keluarga justru berkembang menjadi sesuatu yang bersifat toxic? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui sejauh apa peran keluarga bagi individu khususnya bagi mereka yang tumbuh dalam keluarga yang bersifat toxic sehingga berkembang menjadi keluarga yang tidak berfungsi/disfungsional.

Ketika Anda memiliki masalah, pernahkah Anda menyalahkan keluarga Anda sendiri atau salah satu dari anggota keluarga Anda? Seperti misalnya berpikir bahwa mengapa keluarga saya seperti ini, seperti itu? Jika keluarga saya tidak begini, seharusnya saya seperti itu. Atau berpikir bahwa saya tidak akan seperti ini jika keluarga saya tidak seperti itu...

Ya, banyak dari kita yang cenderung menganggap keluarga adalah penyebab dari masalah kita sendiri, bahkan membuat kita merasa "lepas" tanggung jawab terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Mungkin sebagian benar bahwa ada beberapa faktor dari keluarga yang menyebabkan sesuatu terjadi, dimana keluarga berubah menjadi tidak berfungsi dengan baik. Akan tetapi, bagaimana Anda tahu bahwa  efek dari keluarga disfungsi tersebut menjadi masalah yang serius bagi hidup Anda. Oleh karena itu, mari kita sedikit membahas tentang Dysfunctional Family (DF) serta pengaruhnya bagi Anda yang memang tumbuh dalam keluarga tersebut. Hal ini karena banyak dari mereka yang selama bertahun-tahun tidak memahami mengapa keluarganya tidak berfungsi tanpa tahu ada sesuatu yang salah di dalamnya.

Sebelum membahas lebih jauh tentang DF, berikut alasan mengapa keluarga menjadi pondasi yang penting bagi individu. Menurut Minkiewicz (2003) keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat, yang menjembatani antara individu dengan masyarakat. Keluarga memainkan peran besar dalam membentuk kepribadian dan sikap yang secara tidak langsung menunjukkan kesiapan mental individu untuk mendengarkan dan belajar tentang pengetahuan dan perilaku yang benar. Sehingga penting bagi Anda untuk mengetahui perbedaan antara keluarga yang "sehat" dengan yang "tidak sehat". Dalam keluarga yang sehat, bukan berarti tidak memiliki konflik sama sekali dalam keluarga. Akan tetapi konflik tersebut tidak setiap saat. Pengekspresian emosi masih dapat diizinkan dan diterima, anggota keluarga pun masih bisa meminta dan menerima perhatian. Aturan keluarga dibuat secara eksplisit dan konsisten namun tetap fleksibel untuk beradaptasi dalam kebutuhan setiap anggota keluarga. Anak-anak pun tidak takut secara emosional, tidak ada kekerasan fisik, verbal maupun seksual. Orangtua pun dapat diandalkan sehingga anak-anak tidak perlu mengambil tanggung jawab yang seharusnya dilakukan orangtua.

Menurut kamus medis, DF dipahami sebagai keluarga dengan banyak masalah internal, seperti persaingan saudara kandung, konflik orangtua-anak, KDRT, penyakit mental, orangtua tunggal; serta masalah eksternal seperti penyalahgunaan alkohol dan narkoba, hubungan di luar pernikahan, perjudian dan pengangguran. Intinya masalah yang mempengaruhi kebutuhan dasar keluarga. Akan tetapi, yang membedakan disini adalah pada keluarga yang "sehat", mereka akan kembali ke fungsi normal setelah melalui krisis tersebut. Namun pada keluarga yang "tidak sehat" atau disfungsi, masalah justru akan semakin kronis. Efeknya terlihat pada anak-anak di keluarga tersebut yang cenderung tidak bisa mendapatkan kebutuhan mereka dalam keluarga serta perilaku orangtua mereka yang negatif secara dominan mempengaruhi kehidupan mereka. Sementara menurut Wills-Brandon (1996), istilah disfungsi pada keluarga mengarah pada rasa frustasi anggota keluarga terhadap kebutuhan dasar mereka, adanya pelanggaran besar terhadap hak pribadi, hilangnya tanggung jawab dan adanya invasi dan perampasan pada batas individu. 

Salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam perkembangan suatu keluarga berubah menjadi disfungsional, adalah peran orangtua di dalam keluarga tersebut. Karena biar bagaimanapun, orangtua adalah satu-satunya orang dewasa yang berperan mengendalikan arah sehat atau tidaknya keluarga tersebut. Dalam hal ini, terdapat beberapa tipe orangtua yang dapat menyebabkan sebuah keluarga menjadi disfungsional.

Deficient Parents
Bagi mereka yang memiliki orangtua dengan penyakit jiwa, orangtua tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal dalam keluarga. Hal ini tentu menyebabkan anaknya mau tidak mau "mengambil" tanggung jawab orang dewasa. Dalam hal ini, kebutuhan emosional orangtuanya yang justru didahulukan sehingga anak akan  belajar mengabaikan kebutuhan emosional mereka sendiri. Anak yang "terpaksa" menjalankan peran orang dewasa, akan merasa tidak memadai dan merasa bersalah. Hal ini dapat berlanjut hingga ketika menjadi dewasa mereka akan cenderung depresi. Selain itu, adanya masalah medis pada anggota keluarga secara tidak langsung dapat menjadikan orangtua tergolong sebagai deficient parent. Misalnya jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit parah, biasanya mereka akan fokus pada anggota keluarga tsb, sehingga anggota keluarga lainnya terabaikan.

Controlling Parents
Berbeda dari tipe orangtua sebelumnya, orangtua tipe ini justru mengambil alih semua keputusan anak-anak mereka bahkan jauh melebihi batas usia seharusnya. Pada dasarnya pola asuh seperti ini didorong dari rasa khawatir orangtua bahwa diri mereka akan ditinggalkan saat anak mereka dewasa dan mandiri. Akan tetapi, efeknya terhadap anak, Ia akan menjadi sulit mengambil keputusan saat mandiri, merasa tidak mampu dan tidak berdaya.

Alcoholic Parents
Keluarga dengan tipe orangtua seperti ini cenderung kacau dan tidak dapat diprediksi. Orangtua kadang bersikap acuh tak acuh, pengekspresian emosi yang tidak diizinkan, dan biasanya mereka cenderung merahasikan masalah dari orang luar, Hal ini dapat menyebabkan anak merasa tidak aman, frustasi dan marah. Sehingga anak tumbuh menjadi tidak percaya dengan orang lain, sulit mengekspresikan emosi dan kesulitan menjalin hubungan sampai dewasa.

Abusive Parents
Orangtua yang melakukan tindakan pelecehan disini bisa dalam bentuk verbal, fisik maupun seksual. Pelecehan verbal bisa dalam bentuk frontal seperti kritik atau pun halus seperti humor, namun keduanya tetap bersifat merusak. Sementara untuk  fisik, seringkali orangtua menganggapnya sebagai tindakan disiplin, namun kenyataannya hal itu hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional orangtua semata dan tidak ada hubungannya dengan kepeduliannya terhadap anak. Efeknya justru akan menjadikan teror bagi anak tersebut, mereka tidak akan mampu mengembangkan perasaan aman bahkan hingga anak tersebut dewasa. Pelecehen seksual pada anak, umumnya berupa kontak fisik antara anak dan orang dewasa dimana kontak tersebut bersifat "rahasia". Demonstrasi bentuk kasih sayang seperti memeluk, mencium atau membelai rambut anak yang dilakukan secara terbuka cukup dapat diterima. Namun jika ada tindakan yang dilakukan dengan "rahasia", besar kemungkinan tindakan tersebut adalah tindakan tidak pantas. Akibatnya, anak akan tumbuh dengan membawa perasaan membenci diri sendiri, malu dan tidak berharga.


Faktor lainnya yang menjadi penyebab berkembangnya  keluarga menjadi disfungsi adalah adanya kekerasan dalam keluarga atau biasa disebut KDRT. Menurut Mellibruda (2005), kekerasan dalam keluarga meliputi setiap tindakan atau kelalaian yang dilakukan dalam keluarga oleh salah satu anggotanya terhadap yang lain dengan menggunakan atau menciptakan kondisi berdasarkan kekuatan atau otoritas yang berdampak negatif terhadap hak atau barang pribadi khususnya kehidupan dan kesehatan fisik atau mental. Dalam hal ini, KDRT mempengaruhi gangguan psikologis terutama pada anak dalam suatu keluarga seperti keterbelakangan mental dan fisik, masalah sosialisasi pada anak sehingga terjadi masalah di sekolah. Bakan pada kasus yang lebih tragis menyebabkan cedera fisik dan kematian. 


Kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab keluarga menjadi disfungsi. Konsep kemiskinan disini tidak hanya terpaku pada kekurangan materi namun lebih pada pengaruhnya terhadap kegiatan  yang membantu membuat keputusan di masa depan, Kondisi kemiskinan mempengaruhi suasana pola asuh orang tua yang serba tidak puas akan kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Anak yang dibesarkan dalam kemiskinan cenderung mengalami kemunduran dalam perkembangan, memiliki emosi yang negatif, dan cenderung menjauhkan diri dari kehidupan sosial karena mereka merasa malu berada dalam kemiskinan. Hal ini membuat anak terus menerus tumbuh dalam keyakinan bahwa dirinya lebih buruk dari anak lainnya  Intinya, kemiskinan secara tidak langsung berkontribusi membuat keluarga menjadi disfungsi khususnya dalam pendidikan yang lama kelamaan mengarah pada stigmatisasi. Marzec (2001) menambahkan bahwa kemiskinan menjadi fenomena umum yang mempengaruhi anggota keluarga mengalami depresi, berkurangnya motivasi dan aktivitas serta menurunnya nilai norma-norma moral bahkan dapat berkembang menjadi perilaku yang bersifat patologis. 


Dari berbagai penjelasan diatas, katakan lah Anda mungkin sudah mengetahui kira-kira apa yang menyebabkan keluarga Anda menjadi disfungsi selama ini dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi hidup dan perilaku Anda selama ini. Congratulations!! Anda sedang dalam perjalanan menuju penyembuhan dan pertumbuhan pribadi :) 
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini Anda mungkin masih berhadapan dengan bagaimana Anda berurusan dengan keluarga toxic Anda dan biar bagaimanapun mereka adalah bagian penting dari hidup Anda. Tetap saja Anda membutuhkan cara untuk menghentikan rasa sakit yang ditimbulkan dari mereka. Anda perlu mengetahui cara melindungi diri sendiri dan menghentikan pengaruh negatif yang telah ditimpakan pada Anda di masa lalu dan berujung hingga masa kini. Tidak banyak yang bisa saya bantu dalam hal ini, hanya sekadar memandu Anda untuk beralih dari masa lalu Anda yang "tidak berfungsi".

1. Pertimbangkan kembali definisi keluarga bagi Anda
Hal ini sangat sederhana, dapat dilakukan di usia remaja sampai bagi Anda yang dewasa sekalipun. Semua berawal dari mindset kita, apabila kenyataannya definisi keluarga yang Anda harapkan selama ini tidak sejalan maka tandanya Anda perlu merubahnya menjadi sesuatu yang lebih realistis. Ada banyak definisi keluarga yang dapat Anda "rangkai" kembali, hanya tinggal menyesuaikan dengan apa yang Anda miliki dalam keluarga Anda. Anda cukup mengambil semua hal positif, bahkan sekecil apapun kelebihan yang ada pada keluarga Anda untuk kemudian Anda jadikan "standar" definisi keluarga Anda. Dalam hal ini kemampuan yang perlu Anda miliki hanya menganalisa kondisi keluarga Anda. Setelah itu, tanamkan kuat-kuat definisi tersebut dalam diri Anda. Definisi tersebut dapat membantu Anda untuk menyeimbangkan kembali konsep pemahaman Anda terhadap keluarga Anda sendiri.

2. Apresiasi kualitas yang baik dalam diri Anda
Dari segala hal yang terjadi, Anda dapat bertahan sampai sekarang, maka hargailah diri Anda.
Bila perlu list kembali pencapaian-pencapaian Anda selama ini. Hal itu dapat menjadi "obat" ketika Anda merasa putus asa.

3. Biarkan diri Anda merasa marah dengan apa yang terjadi
Langkah ini dapat anda lakukan untuk dapat mulai memaafkan. Jika orangtua Anda adalah tipe yang masih memungkinkan untuk mendengarkan, Anda dapat membicarakan perasaan marah Anda dengan tujuan mendorong perubahan positif bukan untuk menyakiti. Namun apabila benar-benar tidak memungkinkan, Anda cukup menuliskan surat berisi kemarahan Anda lalu membakarnya. Ingat, ini salah satu langkah pemulihan Anda. Jangan tekan amarah Anda.

4. Batasi informasi yang Anda bagikan
Hal ini dapat Anda lakukan apabila Anda memilih untuk tetap melihat dan menghabiskan waktu dengan keluarga toxic Anda. Anda akan secara emosional lebih aman, karena tidak banyak informasi yang dapat berpotensi "menyerang" Anda. Cobalah untuk menjaga percakapan lebih umum dan dangkal, hal itu akan lebih aman bagi Anda.

5. Sadarilah bahwa tidak semua orang bisa dan mau berubah
Pada umumnya, kebanyakan orang akan sulit untuk mengakui kesalahan sendiri (mungkin termasuk diri kita sendiri). Bahkan lebih banyak justru balik menjadi agresif ketika mereka dihadapkan dengan kesalahan tersebut. Oleh karena itu, akan lebih baik bila Anda juga dengan cepat menyadari bahwa tidak semua orang dapat berubah dan mau berubah karena hal itu akan melukai ego mereka sendiri. Namun, Anda masih dapat merubah diri Anda sendiri dengan cara merubah respon Anda terhadap perilaku toxic mereka. 

6. Jangan menyalahkan perilaku buruk Anda pada masa kecil Anda
Anda sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab pada perilaku Anda sekarang, bukan perilaku orangtua Anda. Anda mungkin merasa pahit, kecewa dan marah namun sikap Anda tidak harus memproyeksikan hal itu. Apa yang terjadi pada masa kecil Anda memang bukan pilihan Anda, tapi apa yang terjadi sekarang adalah pilihan Anda. 


Demikian sedikit pembahasan mengenai dysfunctional family kali ini. Mungkin memang tidak dalam namun disini saya mencoba agar Anda dapat sedikit memahami keluarga Anda dengan perspektif psikologi. Semoga dapat membantu bagi Anda, karena sedikit saja Anda berniat memahami, percayalah itu merupakan salah satu langkah untuk pemulihan diri. Sekian dan terima kasih.




Daftar Pustaka

https://www.betterhelp.com/advice/family/dysfunctional-family-what-it-is-and-what-its-like-to-grow-up-in-one/
https://static1.squarespace.com/static/57ec3df6f5e231ada41bb9cc/t/57ed53a537c58182f816d1cc/1475171237566/Dysfunctional+Families.pdf

Kopsztjn, Maria.(2015) Family and Its Problems. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/ZN_Ped_2015_10_Kopsztejn_Maria.pdf

Marzec, H. (2001). Dziecko w rodzinie z ubóstwem materialnym. Łowicz. 

Mellibruda, J. (2005). Charakterystyka zjawiska przemocy w rodzinie. W: Przewodnik do realizacji ustawy z dnia 29 lipca 2005 roku o przeciwdziałaniu przemocy w rodzinie. Pobrano z lokalizacji: www.niebieskalinia.pl.

Minkiewicz, A. (red.) (2003). Patologia społeczna wśród młodzieży. Stan, metody analizy i sposoby przeciwdziałania. Warszawa

Wills-Brandon, C. (1996). Jak mówić nie i budować udane związki. Gdańsk


Minggu, 17 Maret 2019

::: When your imagination go Wild :::

Hasil gambar untuk daydreaming art




When the outer world is silenced, the inner world goes wild...

Kira-kira perilaku apa yang sering kalian dengar jika berkaitan dengan adiksi?
Adiksi games? internet? atau seks? Banyak sekali perilaku yang tadinya mungkin normal, tapi karena ketagihan justru menjadi tidak normal. Topik kali ini, saya akan membahas tentang perilaku yang sebenarnya sangat biasa dan umum dilakukan semua orang, namun dapat menjadi gangguan ketika perilaku tersebut berubah menjadi bentuk adiksi.
Siapa yang tidak pernah melamun? Semua orang pasti pernah melakukannya. Dalam ilmu psikologi, melamun sendiri dikategorikan sebagai bentuk disosiasi* non-pathologi  (Butler, 2006; Klinger et al, 2009). Aktivitas melamun yang normal, biasanya fantasi didalamnya tidak terlalu fantastis (Klinger & Cox, 1987). Selain itu, melamun yang "normal" justru memiliki fungsi adaptif seperti perencanaan masa depan, kreatifitas dan pemecahan masalah, dan memungkinkan individu menggunakan informasi untuk tujuan yang penting (McMillan, Kaufman, & Singer, 2013; Schooler et al., 2011). Yang menjadi masalah adalah ketika individu lebih menyukai dunia imajinasi dibanding dengan dunia nyata. Melamun memang bukan sebuah gangguan mental, namun jika sampai mengganggu kehidupan sehari-hari individu tersebut, kita perlu melihatnya dari sudut pandang klinis sebagai suatu bentuk patologi. Oleh karena itu, kali ini saya akan membahas tentang   Maladaptive Daydreaming Disorder atau gangguan melamun berlebihan, tujuannya agar kita dapat lebih sadar bahwa perilaku sederhana seperti melamun pun dapat menjadi gangguan mental apabila "disalahgunakan" dan tidak ditangani dengan benar.

Maladaptive Daydreaming (MD) pertama kali diteliti oleh Psikolog Klinis dari Israel, Eliezer Somer. Somer (2002) mendefinisikan Maladaptive Daydreaming (MD) sebagai kegiatan fantasi yang intens sehingga dapat mengalihkan individu dari interaksi manusia sampai mengganggu fungsi akademik, interpersonal, atau pekerjaan. Dalam hal ini, melamun sudah menjadi bentuk perilaku adiksi. Sebelum membahas lebih jauh mengenai MD, akan lebih baik kalau kita terlebih dahulu mengetahui bagaimana perilaku adiksi dapat menjadi perilaku yang bersifat maladaptive.



Psikolog mengusulkan beberapa kemungkinan penyebab adiksi. Pertama, individu mengalami adiksi karena kelainan, atau "psikopatologi" yang memanifestasikan dirinya sebagai penyakit mental. Kedua, individu dapat mempelajari perilaku tidak sehat sebagai respons terhadap lingkungannya. Ketiga, pikiran dan kepercayaan individu dapat menciptakan perasaan mereka, yang pada akhirnya menentukan perilaku mereka. Sejauh pemikiran dan keyakinan seseorang tidak realistis atau disfungsional, perilaku mereka juga akan terpengaruh. Menurut Thombs (2006) adiksi sebagai perilaku maladaptif, tidak dianggap sebagai suatu dosa atau penyakit tetapi merupakan suatu masalah perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, sosial dan kognitif. Pada persepsi ini, pecandu merupakan korban dari adanya destructive learning conditions. Oleh karena itu, “maladaptif” dapat dipahami sebagai pola perilaku yang memiliki konsekuensi - konsekuensi buruk bagi diri pecandu dan atau keluarganya.

MD berbeda dengan skizofrenia, karena penderita MD menyadari bahwa fantasinya tidak nyata. Sedangkan penderita skizofrenia, justru tidak dapat membedakan mana yang fantasi mana yang nyata. Gambaran fantasi penderita MD umumnya sangat jelas dan kompleks, bahkan memiliki karakter, plot dan pengaturan cerita yang terperinci. Individu dengan MD memiliki fantasi yang sangat memuaskan yang melibatkan tema-tema seperti romansa, hubungan dengan selebriti, pemenuhan harapan, dan versi ideal dirinya sendiri (Bigelsen, Lehrfeld, Jopp, & Somer, 2016). Penderita MD cenderung mengekspresikan emosi mereka dalam imajinasinya sehingga seringkali sulit untuk melepas karakter yang mereka ciptakan dalam imajinasinya.



Adapun beberapa symptom yang ditunjukkan dari penderita MD, antara lain

- Penderita biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk tidur di malam hari (karena sibuk melamun) atau bangun di pagi hari (terlalu lelah melamun sehingga kurang tidur)

- Penderita secara terus menerus atau secara obsesif menginginkan cerita atau situasi fiksi di pikirannya
- Penderita secara konsisten sulit untuk fokus
- Saat melamun, penderita cenderung melakukan gerakan berulang
- Membuat ekspresi wajah saat melamun
- Berbisik dan berbicara sambil melamun
- Durasi melamun sangat lama dari menit sampai berjam-jam

Individu dengan MD menemukan kemampuan mereka untuk mengaktifkan fantasi fantastis selama masa kanak-kanak. Beberapa penderita MD umumnya memiliki kesulitan sosial dan emosional di masa kecil yang berkelanjutan. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan aktivitas melamun untuk mendapatkan dukungan emosional, kompetensi, dan pengakuan sosial sebagai kompensasi emosional (Somer, et al, 2016).


Gangguan MD biasanya berkembang sebagai bentuk mekanisme pertahanan individu dalam mengatasi masalah-masalah lain yang berakar pada jiwa, seperti misalnya pelecehan, depresi, ketakutan, kecemasan, kesepian dll. Dalam hal ini, MD menjadi cara bagi individu untuk selamat dari trauma psikologis, baik ringan maupun berat (Somer & Herscu, 2017).
Dengan kata lain, individu yang menderita dari lingkungan kasar dan menderita gangguan kecemasan sosial dapat mengembangkan MD sebagai sarana untuk melarikan diri dari kenyataan pahit ke dunia internal yang aman.

MD memiliki pemicu yang tidak terbatas, diantaranya seperti musik, film, peristiwa nyata, trauma baru, kecemasan dan stress. Pemicu ini, dapat dengan mudah menarik kembali penderita untuk tenggelam dalam gangguan MD. Sehingga jika kita hanya mencoba "menjauhi" aktifitas melamun saja untuk terlepas dari MD, hal itu tidak akan cukup. Secara sederhana, MD adalah masalah ekspresi, begitu juga dengan psychological addiction. Apa yang tidak diungkapkan sebagai perasaan atau emosi, akan terdistorsi dan diekspresikan sebagai keinginan. Adiksi adalah kompensasi yang lahir dari ketidakberdayaan kita untuk mengungkapkan apa yang diinginkan atau dirasakan. Jika ada keinginan dibawah alam sadar kita yang "berteriak" untuk dilepaskan namun entah bagaimana tidak muncul secara sadar maka hal itu berubah menjadi keinginan. Dan apabila keinginan tersebut sudah terlalu banyak dan tidak muncul juga dalam bentuk emosi yang diekspresikan, maka terjadilah isolasi emosional.



Fantasi muncul sebagai respon terhadap isolasi emosional. Fantasi pada dasarnya adalah emosi yang terperangkap, emosi yang terproyeksi ke dalam imajinasi kita. Sehingga yang dapat kita lakukan adalah "menangkap" kembali emosi tersebut. Dalam hal ini, kita perlu mengidentifikasi emosi apa yang ada di skenario imajinasi. Jika kita sudah mengetahui emosi tersebut, selanjutnya kita perlu mencari tahu mengapa emosi tersebut tidak kita temukan di dunia nyata, apakah ada hal yang menghalangi atau ada yang hilang dari diri kita sehingga kita tidak dapat merasakan emosi tersebut. Hal ini penting karena sering kali melamun menjadi addict karena saat kita tidak mampu mengidentifikasi emosi yang sesungguhnya kita butuhkan, kita cenderung salah kaprah bahwa yang kita butuhkan adalah karakter atau situasi dalam fantasi kita. Jika kita berhasil mengidentifikasi SEMUA emosi tersebut dan mengemukakannya dalam situasi nyata, tentu kita tidak akan lagi "kelaparan" mencari emosi tersebut dalam bentuk fantasi.


Seringkali penderita MD merasa berat dan sulit untuk melepaskan fantasi mereka. Mereka akan merasa "kehilangan" diri mereka sendiri apabila mereka melepaskan fantasinya. Sekarang, pikirkan bahwa fantasi adalah kanvas tempat kita memproyeksikan emosi yang memang sudah ada dalam diri kita. Apabila fantasi tersebut hilang, kita hanya akan kehilangan kanvasnya (baca: media akses) bukan emosinya. Emosi akan selalu dan tetap ada terlepas kita memiliki MD atau tidak. Namun disini, emosi tersebut membutuhkan kanvas yang lebih "sehat" lagi daripada hanya sekadar fantasi. Kanvas dimana emosi bisa benar-benar diamati dan dialami, bukan hanya terpendam. Dengan melepaskan fantasi, kita hanya akan kehilangan rasa nyaman yang "salah".


MD mungkin tidak sepopuler gangguan mental seperti depresi, skizofrenia, OCD atau lainnya.  Banyak yang belum atau bahkan tidak menganggap MD sebagai gangguan mental yang serius. MD sendiri belum dapat dimasukkan ke dalam kategori di DSM-V karena sampai saat ini masih belum jelas apakah MD  tergolong sebagai psikosis atau bukan. Akan tetapi, tidak normal apabila kita tinggal dalam isolasi emosional tanpa dapat menerima masukan positif dari kehidupan nyata. Adanya fantasi menjadi mekanisme pertahanan bagi otak untuk menjaga pikiran tetap waras. Jangan sampai hanya karena kita tidak mampu mengekspresikan emosi dan perasaan di "dunia luar" maka "dunia imajinasi" pun menjadi liar.









*Kondisi dimana individu masuk ke dunia internalnya sendiri dan memisahkan diri dari lingkungan terdekatnya.


Sumber Gambar: https://daydreamresearch.wixsite.com/md-research/md-art
Daftar Pustaka:

https://www.healthline.com/health/mental-health/maladaptive-daydreaming#outlook

https://medium.com/@georgiachallenger/maladaptive-daydreaming-disorder-fe4a15ff44f4
https://exploringyourmind.com/maladaptive-daydreaming/
https://maladaptivedaydreamingguide.wordpress.com/

Butler, L. D. (2006). Normative dissociation. Psychiatric Clinics of North America, 29(1), 45-62.

Klinger, Eric. "Daydreaming and fantasizing: Thought flow and motivation." (2009).

Klinger, E., & Cox, W. M. (1987). Dimensions of thought flow in everyday life. Imagination, 
Cognition and Personality, 7, 105–128. http://dx.doi .org/10.2190/7K24-G343-MTQW-115V
McMillan, R. L., Kaufman, S. B., & Singer, J. L. (2013). Ode to positive constructive daydreaming. Frontiers in Psychology, 4, 626. http://dx.doi.org/ 10.3389/fpsyg.2013.00626

Somer, E. (2002). Maladaptive daydreaming: A qualitative inquiry. Journal of Contemporary Psychotherapy, 32(2), 197–212.



Somer, E., Dudek, N. S., Ross, C. A., & Halpern, N. (2017). Maladaptive Daydreaming: Proposed Diagnostic Criteria and Their Assesment With a Structured Clinical Interview. Psychology of Consciousness: Theory, Research, and Practice 2017, Vol. 4, No. 2, 176 –189. http://dx.doi.org/10.1037/cns0000114

Somer, E. (2013). From adaptive fantasy to dissociative psychopathology: On forms of daydreaming. Clinical Corner, ISSTSD News, 31(2), 3–4

Somer, E., Somer, L., & Jopp, S. D. (2016a). Childhood Antecendents and Maintaining Factors in Maladaptive Daydreaming. Journal of Nervouse and Mental Disease, 204 (6), 471-478 https://doi.org/10.1097/NMD.0000000000000507


Somer, E., Somer, L., & Jopp, S. D. (2016b). Parallel Lives: A Phenomenological Study of The Lived Experience of Maladaptive Daydreaming. Journal of Trauma and Dissosiation 17 (5), 561 - 576 https://doi.org/10.1080/15299732.2016.1160463


Somer, E. & Herscu, O. (2017). Childhood Trauma, Social Anxiety, Absorption and Fantacy Dependence: Two Potential Mediated Pathways to Maladaptive Daydreaming. . J Addict Behav Ther Rehabil 2017, 6:4


Somer, E. & Dudek, N. S. (2018). Trapped in A Daydream: Daily Elevations in Maladaptive Daydreaming are Associated with Daily Psychopatological Symptoms. Front. Psychiatry 9:194.  https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00194


Thombs, D. L. (2006). Introduction to Addictive Behaviors (Third Edition). The Guilford Press. New York. 




:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::

Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....      Pernah tidak merasa emos...