Sabtu, 11 Desember 2021

:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::


Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....
    
Pernah tidak merasa emosi negatif muncul karena tiba-tiba teringat dengan peristiwa yang tidak menyenangkan padahal kita "merasa" sudah lupa dan "selesai" dengan peristiwa atau orang yang berkaitan? Atau mungkin baru saja berduka namun belum sempat untuk  mengemukakan emosi atau perasaan kita kepada orang tersebut? Mungkin istilah zaman sekarang dapat disebut belum move on ya, sekilas terlihat sepele sepanjang orang yang mengalaminya masih bisa melanjutkan kehidupan secara normal, namun kondisi tersebut bisa berpengaruh sangat besar lho ke depannya, jika kita belum bisa "menyelesaikannya"..Dalam konteks psikologi, kondisi tersebut dikenal dengan istilah "Unfinished Business". 
    Secara spesifik, saya pernah membahas unfinished business pada individu yang berduka disini. Akan tetapi, unfinished business sendiri dapat terjadi karena berbagai hal diantaranya, situasi duka  dimana individu tidak sempat mempersiapkan diri dengan perpisahan, menghadapi putus hubungan yang dilakukan dengan tidak jelas (ghosting?), traumatic event seperti korban bully serta interaksi sosial yang bersifat tidak menyenangkan misalnya ketika kita disakiti namun tidak menerima permintaan maaf dari orang yang sudah menyakiti kita. Pengalaman buruk membuat kita merespon dengan berbagai cara, namun cara yang paling umum adalah dengan menghindar. Namun respon menghindar tersebut bukan berarti membuat emosi negatif yang muncul dari pengalaman buruk itu hilang. Unfinished business  adalah emosi yang berkaitan dengan pengalaman buruk di masa lalu namun tidak berhasil diekspresikan karena dinilai terlalu menyakitkan. Unfinished business dapat terjadi dari peristiwa emosional yang terjadi namun emosi yang muncul tersebut ditekan atau tidak menemukan resolusi terhadap pengalaman tersebut. Emosi tersebut  bersifat menetap dan berhubungan dengan sosok yang dekat atau pernah dekat, belum berhasil diutarakan dan bersifat problematis atau merugikan individu saat ini. 
    Lalu, mengapa unfinished business sangat penting untuk "diselesaikan"? Menurut Elliott et al (2005), energi individu akan terkunci di masa lalu jika masih belum menyelesaikan unfinished business yang dialaminya. Sehingga Ia akan cenderung terjebak dalam pola dimana dirinya masih menggunakan pengalaman masa lalu sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, padahal hal tersebut sudah tidak relevan. Unfinished business dapat mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan orang lain ke depannya dan mengubah cara kita melihat dunia. Individu dengan isu unfinished business, akan cenderung membenci masa lalu dan tidak fokus di masa sekarang atau masa depan karena pada dasarnya Ia belum menemukan resolusi terhadap isunya tersebut. 
    Jika kita ingin menyelesaikan unfinished business, bukan berarti kita harus melupakan peristiwa atau orang terkait di dalamnya. Justru, kita harus berani untuk mengenal lebih dekat pengalaman atau emosi yang dialami di masa lalu dan melepaskan emosi yang dirasakan. Kita harus tahu apa yang kita inginkan dan mengapa agar dapat menemukan resolusi dari unfinished business yang kita hadapi. Sehingga pada akhirnya kita bisa dengan bebas bergerak maju tanpa merasa menyesal dan menggunakan pengalaman yang lalu untuk membangun hubungan baru yang bermakna untuk diri sendiri. Dalam hal ini, saya coba mencontohkan unfinished business dalam hal berduka. Hal ini mengacu pada perasaan bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan atau belum dikatakan kepada Almarhum. Unfinished business tersebut akan terus menerus menimbulkan emosi sesal, sehingga menghambat kita untuk berhasil melalui tahap berduka. Ketika kita memutuskan untuk menyelesaikan unfinished business tersebut, kita perlu paham bahwa tujuan kita menyelesaikan hal tersebut adalah agar seterusnya tidak terjebak dalam rasa penyesalan dan menemukan insight dari pengalaman berduka tersebut. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari dan menerima emosi penyesalan tersebut, kita dapat memvisualisasikan penyesalan tersebut dengan cara menuliskan penyesalan kita atau hal-hal yang belum sempat diungkapkan atau datang ke psikolog untuk melakukan terapi. Lalu berusaha mencapai resolusi dengan berusaha menemukan hal positif yang terjadi, memaafkan orang lain atau diri sendiri dan semua hal yang membantu kita memproses unfinished business tersebut. Melalui resolusi yang kita lakukan, pada akhirnya kita akan mampu menemukan insight yang membantu untuk "menyelesaikan" unfinished business. Misalnya dengan menuliskan apa saja yang belum sempat kita ungkapkan kepada Almarhum, dapat membantu kita secara unconscious melepaskan emosi penyesalan yang kita rasakan. Selain itu, melalui rasa penyesalan, insight yang bisa diperoleh adalah kita jadi lebih memaknai keberadaan orang yang masih ada di sekitar kita dan menyadari apa yang salah dari sikap kita. Sehingga kita tidak memandang penyesalan tersebut sebagai sesuatu yang sangat buruk.
    Dalam proses menyelesaikan unfinished business dalam kasus apapun, kuncinya adalah kita harus mengetahui dan berani menerima kenyataan terkait unfinished business yang kita hadapi. Untuk selanjutnya menganalisa apa yang perlu dilakukan untuk bisa mencapai resolusi dari unfinished business tersebut. Memang bukan proses yang singkat dan cepat namun dapat tercapai apabila kita "menyadari" untuk mau menyelesaikannya. Demikian konsep unfinished business yang dapat saya sampaikan, semoga membantu bagi kalian yang masih berjuang untuk menyelesaikannya ya 😀


Daftar Pustaka

https://psychcentral.com/blog/relationship-skills/2014/02/8-steps-to-finishing-unfinished-business#2

http://pagr.net/resources/articles/unfinished-business/

https://touchedbyahorse.com/unfinished-business/

https://digitalscholarship.unlv.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3189&context=thesesdissertations&httpsredir=1&referer=

https://medium.com/practical-growth/how-to-tackle-unresolved-issues-28ef2a68fc26

https://ce.nationalregister.org/wp-content/uploads/2020/07/Responding-to-Loss-Online-During-a-Crisis-Neimeyer.pdf


Sabtu, 16 Oktober 2021

::: How to Consult a Psychologist? :::

 



  "Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat", tidak asing ya dengan quote tersebut. Banyak orang yang mengutamakan kesehatan fisik namun tidak dengan kesehatan jiwa. Padahal kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Lalu, jika jiwa kita sudah mulai tidak sehat, apa yang perlu dilakukan? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah datang ke psikolog atau psikiater untuk sekadar konsultasi atau jika harus, melakukan terapi (termasuk terapi obat). Akan tetapi, hal tersebut masih banyak dianggap tabu oleh masyarakat kita. Stigma seperti gila, gangguan mental atau kelainan jiwa masih sangat erat kaitannya dengan berobat ke psikolog atau psikiater. Kebanyakan dari kita akan merasa takut dan malu atau bahkan marah jika orang lain tahu kita datang ke psikolog atau psikiater. Selain stigma, banyak orang juga masih ragu untuk datang ke psikolog/psikiater terkait biaya nya yang notabene mahal (karena dibayar per sesi bisa 1-2 jam, tergantung kebutuhan). Akan tetapi, jika kita mau "sedikit" berusaha mencaritahu, saat ini sudah banyak pihak-pihak (pemerintah/swasta) yang menyediakan layanan pengobatan ke psikolog/psikiater secara gratis. Akan tetapi, banyak juga masyarakat yang tahu bahwa ada layanan konseling atau terapi sebagai solusinya, namun ego mereka masih tinggi sehingga menganggap masalahnya tidak cukup besar, merasa diri sendiri kuat sehingga tidak butuh bantuan. 

    Dari sekian alasan mengapa banyak orang masih ragu atau tidak mau datang ke psikolog/psikiater, mayoritas juga masih bingung, perbedaan antara fungsi psikolog dengan psikiater, sehingga jika mereka sadar untuk berobat pun masih belum bisa menentukan mana yang tepat harus dikunjungi. Sekadar informasi, psikiater tidak sama dengan psikolog, fungsi mereka berbeda namun saling mendukung. Psikiater adalah dokter spesialis yang fokus menangani kesehatan jiwa dengan memberikan layanan terapi dan konseling sekaligus memiliki wewenang untuk meresepkan obat dan melakukan prosedur/tindakan medis. Sedangkan psikolog fokus pada layanan konseling dan dukungan non medis, mereka juga dapat memberikan terapi dan konseling namun tidak memiliki wewenang untuk memberikan resep dan obat. Walaupun fungsi mereka berbeda, namun tetap saling mendukung. Misalnya, ketika klien dari psikolog setelah didiagnosa membutuhkan penanganan lebih dalam seperti butuh terapi obat, maka psikolog tsb akan merujuknya ke psikiater, begitupun sebaliknya.

    Dalam rangka memperingati bulan kesehatan mental, saya akan sharing sedikit pengalaman saya dalam mengikuti sesi konsultasi ke psikolog. Sehingga harapannya bisa memberikan review yang valid dan dapat mendorong pembaca yang mungkin membutuhkan bantuan untuk bisa termotivasi mengikuti sesi konseling atau terapi dengan psikolog. Disclaimer, saya sudah melalui beberapa sesi konseling dengan psikolog yang berbeda-beda dan dengan kasus psikologis yang berbeda. Namun disini saya hanya akan menjelaskan secara umum saja ya..Sebelum memutuskan untuk  pergi ke psikolog, kita perlu aware terhadap gejala-gejala psikologis yang terjadi dalam diri kita sebagai warning bahwa kita perlu bantuan yang lebih ahli, dalam hal ini psikolog. Saya sendiri, cukup lama memutuskan untuk akhirnya konseling ke psikolog, sampai pada akhirnya mengalami gejala-gejala psikologis yang di tahap saya tidak mampu mengatasinya sendiri. 

    Adapun gejala tersebut bisa dalam bentuk perubahan emosi yang tidak terkendali dan berubah-ubah, dimana kita sendiri secara pribadi tidak bisa mengatasinya. Misalnya terus menerus merasa sedih, mudah marah dan perubahan emosi tersebut mulai mengganggu aktivitas dan produktifitas kita sehari-hari.  Selain gejala psikologis dalam diri, situasi yang terjadi pada diri kita pun bisa menjadi warning, misalnya mengalami hal yang traumatis yang membuat kita berduka dalam waktu berkepanjangan seperti pelecehan, KDRT atau hal lain yang membuat trauma sehingga butuh dukungan, terapi atau bantuan dari psikolog untuk mengatasi trauma tsb. Dalam hal ini, saya sendiri memutuskan untuk konseling ke psikolog karena emosi yang saya rasakan berlangsung terus menerus akibat situasi traumatis yang saya alami sebelumnya. Emosi tersebut sangat berpengaruh terhadap respon dan tindakan saya sehari-hari sehingga sudah cukup mengganggu aktivitas saya. Selain gejala psikologis, tidak adanya support system (keluarga/teman) yang bisa membantu kita sekadar mendengar keluhan juga bisa menjadi alasan yang cukup valid untuk datang ke psikolog. Pada kasus saya sendiri, saya memiliki support system yang cukup baik, namun saya merasa keluarga/teman tidak akan objektif dalam membantu permasalahan saya. Selain itu, saya juga tetap membutuhkan reinforcement (penguatan) dari psikolog untuk proses healing

    Setelah memutuskan untuk konseling ke psikolog, terdapat beberapa hal yang perlu dipersiapkan agar sesi konseling yang kita jalani lebih efektif dan efisien. Maklum, saat itu saya menggunakan jasa konseling yang berbayar, sehingga saya harus menggunakan sesi tersebut semaksimal mungkin. Yang pertama saya lakukan adalah menentukan tujuan saya ke psikolog itu untuk apa. Saat itu, kebetulan saya sudah sedikit mengetahui permasalahan psikologis saya (bukan self-diagnose namun setidaknya saya sadar issue psikologis yang saya hadapi) sehingga tujuan saya saat itu adalah agar saya bisa pulih dari permasalahan psikologis tsb dan selanjutnya tidak menyakiti orang-orang di sekitar saya terutama keluarga, atas dampak dari permasalahan psikologis yang saya alami. Jadi, dalam hal ini saya sudah sadar bahwa keadaan mental saya sedang tidak baik dan saya tidak mau orang disekitar saya terkena dampaknya. Sekadar informasi, kesadaran kita terhadap keadaan mental kita merupakan satu langkah yang baik dalam proses healing

    Jika memang belum tahu issue psikologisnya apa dan tujuannya apa, kita bisa catat gejala psikologis apa yang kita alami seperti perasaan, emosi, mood dan hal-hal yang men-trigger. Jika perlu jauh-jauh hari sebelum ke psikolog, kita mencatat itu semua, termasuk seberapa besar dampak gejala psikologis tsb terhadap tindakan dan respon kita. Penting juga untuk mencatat apa yang ingin disampaikan kepada psikolog terkait permasalahan kita. Setelah siap dengan daftar tersebut, jika memungkinkan kita juga dapat mencari tahu nama-nama psikolog yang spesialisasi kasusnya sesuai dengan kasus kita. Walaupun biasanya di layanan konseling sudah dibantu untuk disesuaikan, namun tidak ada salahnya kita memilih sendiri psikolog yang menurut kita lebih tepat (semacam memilih dokter). 

    Selain itu, dari sisi mental kita juga perlu mempersiapkan diri karena dalam proses konseling nanti, secara tidak langsung psikolog akan "membuka" emosi atau luka psikologis yang kita alami. Oleh karena itu, jangan mencoba untuk menutup-nutupi atau berpura-pura. Jadilah diri sendiri, jangan takut untuk mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan kita karena psikolog sendiri mempunyai kode etik sehingga menjamin kerahasiaan kita. Untuk penjadwalannya sendiri, usahakan di waktu yang memang luang karena proses konseling adalah hal yang melelahkan dan menguras energi. Kita bisa lelah hanya karena banyak mengeluarkan emosi bukan? Terakhir adalah memperhitungkan budget jika memang memilih layanan konseling berbayar. Untuk info terkait layanan konseling gratis, ada dibagian bawah. 

    Lalu, apa yang dilakukan saat kita ke psikolog? Sebelum sesi konseling di mulai,  saya diberikan formulir data diri yang berisi informasi data diri secara umum, keluhan yang dialami (berisi permasalahan yang ingin didiskusikan, tujuan konseling yang diinginkan dan gejala umum gangguan psikologis), informasi keluarga, informasi wali dan biaya yang perlu dibayarkan. Pertama, psikolog biasanya akan membangun rapor dulu (basa-basi) dengan  kita. Setelahnya baru menanyakan apa yang saya rasakan (seperti kita ke dokter), atau ada juga yang langsung menanyakan apa tujuan atau yang kita inginkan dengan datang ke psikolog. Karena saya sudah tahu tujuan saya ke psikolog untuk apa, jadi biasanya saya langsung menjelaskan tujuan saya, gejala psikologis apa yang saya alami, apa saja yang membuat saya ter-trigger dan kadang saya juga memberitahu apa saja yang tidak bisa saya sampaikan pada orang lain bahkan kepada keluarga sekalipun. Dalam sesi konseling, biasanya saya yang lebih banyak memberikan informasi kepada psikolog tentang situasi saya, bahkan saya juga memberitahu langka-langkah apa saja yang sudah saya lakukan untuk meminimalisir persoalan psikologis saya, hanya untuk memastikan apakah yang saya lakukan sudah benar atau tidak. Hal ini saya lakukan karena dengan kita aware terhadap diri kita, bisa memudahkan psikolog untuk melakukan penanganan yang tepat kepada diri kita. Dari hal-hal yang ditanyakan oleh psikolog sendiri, cenderung pertanyaan yang memang mengarahkan kita untuk bisa menemukan insight dari permasalahan psikologis yang kita hadapi. 

    Dalam sesi konseling sendiri, kita bebas bertanya apapun kepada psikolog terkait keluhan kita atau yang berkaitan dengan sesi konseling tersebut. Misalnya teknik apa yang digunakan oleh psikolog kepada kita, berapa kali sesi konseling yang diperlukan, apa ada yang perlu dilakukan di rumah untuk menunjang sesi konseling, termasuk apakah perlu melibatkan anggota keluarga di sesi konseling berikutnya. Di kasus saya, waktu itu saya diberikan "PR" untuk dilakukan di rumah sebelum pertemuan konseling berikutnya. PR yang dimaksud biasanya berisi kegiatan yang bertujuan agar kita memahami diri sendiri, aware terhadap emosi yang dirasakan atau sekadar menuliskan hal-hal yang tidak dapat atau belum sempat kita sampaikan. Mulai dari awal sesi konseling, jujur sudah banyak manfaat yang saya rasakan diantaranya, psikolog tidak hanya sekadar mendengarkan keluhan dan memberi saran namun juga membantu saya menemukan dasar dari permasalahan saya yang tidak saya sadari sebelumnya dengan bekal kompetensi (teknik konseling & terapi) yang dimilikinya. Psikolog juga membantu saya untuk belajar mengubah dan memperbaiki perspektif saya terhadap permasalahan yang saya hadapi. Selain itu, psikolog sendiri adalah pihak yang netral sehingga akan bersikap objektif dalam memandang permasalahan saya. Hal ini membuat saya merasa bebas dan aman dalam mengemukakan sikap dan pemikiran saya. Saya juga diberitahu cara untuk mengatasi gejala-gejala psikologis yang saya alami, agar ke depannya saya bisa mengatasinya secara mandiri. 

Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa tips yang dapat dilakukan jika berminat untuk konseling ke psikolog, antara lain:
- Konsultasi ke psikolog bukan proses yang instan, biasanya untuk satu case minimal 2-3 kali pertemuan. Hal ini karena butuh kerjasama antara psikolog dengan klien. Semakin kita aware terhadap permasalahan diri kita, maka akan lebih cepat untuk pulih. Jika memang kita tidak cocok dengan psikolognya, kita bisa saja mengganti psikolognya namun bukan mengakhiri prosesnya.
- Jika kita ingin memaksimalkan setiap sesi konseling, usahakan untuk mencatat perubahan yang terjadi atas saran-saran yang diberikan oleh psikolog untuk kita lakukan. Sehingga kita bisa tahu sudah sejauh mana kita bangkit dari permasalahan kita. Bahkan untuk perubahan kecil pun tidak masalah asalkan bisa membawa kita kembali ke kondisi mental yang sehat.
- Saat konseling ke psikolog, kita tidak harus membicarakan hal-hal berat atau masalah-masalah besar untuk diselesaikan saat itu juga. Namun dengan diskusi sederhana pun terkadang bisa membantu kita menemukan insight yang bisa membawa kemajuan dalam sesi konseling
- Sekalipun psikolog adalah seorang pakar, namun kita berhak untuk tidak setuju terhadap saran atau teknik yang digunakan. Misalnya dalam melakukan terapi ada teknik yang kita sulit untuk melakukannya, kita bisa mengkomunikasikannya pada psikolog. Intinya sesi konseling/terapi harus benar-benar nyaman dan aman untuk klien, sehingga psikolog pun dapat lebih mudah menerapkan penanganan yang tepat untuk kita. 

Berikut beberapa rujukan terapi atau konseling psikologi

  • Gratis
  1. Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), menyediakan  layanan konseling gratis. Caranya dengan menghubungi kontak HIMPSI yang ada di beberapa wilayah indonesia. 
  2. Ikatan Psikolog Klinis Indonesia 
  3. Yayasan Praktek Psikolog Indonesia
  4. Berbagi Cerita
  5. Perguruan Tinggi, di beberapa fakultas psikologinya menyediakan layanan konsultasi dengan psikolog gratis
  6. BPJS

  • Berbayar

  • Konseling Online

1. Ibunda: https://www.ibunda.id/layanan

2. Halodoc: https://www.halodoc.com/tanya-dokter/kategori/psikolog-klinis

3. Riliv: https://riliv.co/konseling

4. Kalm: https://get-kalm.com/id/

5. Pijar Psikologi: https://pijarpsikologi.org/konsulgratis/

6. Klee: https://kleezen.com/halaman_konseling.php

7. Kariib:  https://kariib.com/layanan-kami/

8. Psikologimu: http://psikologimu.co/

9. Sehat Jiwa

10. Alpas.id


Demikian beberapa hal yang dapat saya share terkait konseling ke psikolog. Semoga dapat menjadi gambaran dan  memotivasi pembaca untuk dapat melakukan konseling jika dirasa membutuhkan. Terima kasih!


Daftar Pustaka

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.yourtango.com%2F2020333942%2Fquotes-about-therapy&psig=AOvVaw2iqGsIApUbqT7lRQSEJgib&ust=1634471940082000&source=images&cd=vfe&ved=0CAsQjRxqFwoTCKjOidDwzvMCFQAAAAAdAAAAABAe



Sabtu, 19 September 2020

::: You are allowed to disagree :::

 

Dalam berinteraksi kita tentu pernah berada dalam situasi yang bertentangan dengan orang lain. Bedanya adalah apakah kita mengkomunikasikan hal yang bertentangan tersebut kepada lawan bicara atau tidak. Umumnya seringkali kita merasa "tidak pantas" atau bahkan cenderung takut ketika mengkomunikasikan keberatan kita akan suatu hal. Jika hanya hal sepele mungkin tidak masalah, namun apa jadinya jika apa yang menjadi keberatan Anda cenderung merugikan diri Anda atau bahkan orang lain? Disinilah Anda butuh strategi untuk menghadapi situasi tersebut. Anda mungkin pernah atau sering mendengar konsep tentang assertiveness, khususnya dalam gaya komunikasi. Ya, konsep assertiveness seringkali dijadikan sebagai gaya komunikasi yang efektif dalam menangani situasi tersebut. Namun, pada kenyataannya sulit untuk secara spontan mempraktekan gaya komunikasi tersebut jika tidak sering dilatih. Oleh karena itu, menurut saya lebih dari gaya komunikasi, assertiveness penting untuk dilatih sebagai bentuk perilaku sehingga dapat menjadi respon bawah sadar otomatis ketika Anda tiba-tiba berada dalam suatu konflik.

Lalu, apa yang dimaksud dengan perilaku assertive? Mengapa perilaku assertive penting untuk dikembangkan dalam diri secara personal?

Calberti & Emmons (1974) mendefinisikan perilaku assertive sebagai perilaku yang memungkinkan seseorang bertindak sebaik mungkin untuk membela dirinya sendiri tanpa kecemasan yang semestinya, untuk mengungkapkan kejujuran dengan rasa nyaman dan untuk mengambil hak diri sendiri tanpa menyangkal hak untuk orang lain. 

Ketika kita membela diri kita sendiri, terkadang kita merasa khawatir apakah kita akan dipandang orang lain sebagai seorang yang egois atau tidak. Bahkan khawatir apakah orang lain akan berubah menjadi membenci kita ketika kita membela diri kita sendiri. Selain itu, kadang kejujuran itu rasanya pahit bagi sebagian orang, sehingga membuat kita terpaksa berkata tidak jujur di depan orang lain agar tidak menyinggung orang tersebut.  

Assertiveness disini adalah bentuk ekspresi dari perasaan, keyakinan, pendapat dan kebutuhan yang dikomunikasikan secara langsung, jujur dan dengan cara yang tepat. Melalui perilaku assertive, itu artinya kita menghargai hak pribadi diri sendiri sama pentingnya dengan hak orang lain.

Dalam kehidupan nyata, seringkali kita sulit menerapkan perilaku assertive karena perilaku tersebut justru banyak dianggap orang lain sebagai bentuk agresi. Namun, walaupun sulit diidentifikasi apakah perilaku tersebut assertive atau agresive, penting diketahui bahwa terdapat perbedaan yang tipis antara perilaku assertive dengan perilaku agresive. Perilaku assertive didasarkan pada "keseimbangan" yang mana membutuhkan kejujuran tentang keinginan dan kebutuhan Anda sambil tetap mempertimbangkan kebutuhan, hak dan keinginan orang lain. Jadi, ketika orang berperilaku assertive, walaupun Ia tegas dan percaya diri dalam menyampaikan keinginannya, masih ada rasa adil dan empati terhadap orang lain. Sementara pada perilaku agresive didasarkan pada kemenangan dan egosentris. Anda melakukan apa yang menjadi kepentingan Anda tanpa memikirkan kepentingan dan hak orang lain. 

Ok, mungkin sudah cukup jelas apa itu perilaku assertive dan perbedaannya dengan perilaku agresive. Selanjutnya, mengapa penting bagi kita untuk menerapkan perilaku assertive dalam kehidupan sehari-hari? Apakah tidak cukup jika hanya dipraktekan ketika terjadi konflik saja? Tidak memiliki perilaku assertive mungkin terlihat tidak berbahaya namun dalam jangka panjang, hal itu bisa membahayakan harga diri dan dapat menyebabkan depresi. Pertama, tujuan dari perilaku assertive sendiri adalah untuk membantu kita mengekspresikan diri secara efektif dan mempertahankan sudut pandang kita sekaligus menghormati hak dan kepentingan orang lain. Perilaku assertive juga dapat mengurangi stress khususnya pada orang-orang yang memang sulit berkata tidak. Ketika mereka dihadapkan pada pilihan yang merugikan diri mereka, jika mereka menerapkan perilaku assertive maka mereka akan dihindarkan dari situasi yang menekan sehingga dapat mengurangi stress. Melalui perilaku assertive juga dapat mencegah orang lain memanfaatkan kita. 

Orang yang memiliki perilaku assertive tidak lahir begitu saja namun perlu dibentuk. Perilaku assertive dapat dipelajari dengan mempraktekannya berulangkali sehingga menjadi respon bawah sadar yang bersifat otomatis. Berikut ini beberapa langkah yang dapat Anda lakukan untuk melatih perilaku assertive.

  • Hargai diri dan hak Anda. Pertama-tama, untuk menjadi lebih assertive Anda perlu memiliki pemahaman yang baik tentang diri Anda serta keyakinan yang kuat pada nilai yang melekat dalam diri Anda. Keyakinan ini memberi Anda kepercayaan diri untuk membela hak-hak Anda dan melindungi batasan Anda.
  • Suarakan kebutuhan dan keinginan Anda dengan percaya diri. Jika Anda ingin bekerja secara maksimal, Anda perlu memastikan keinginan dan kebutuhan Anda terpenuhi. Oleh karena itu, ambil inisitaif dan mulai lah mengidentifikasi apa yang Anda butuhkan. Jangan mudah menyerah bila keinginan Anda tidak langsung terpenuhi saat itu juga namun jangan sampai keinginan Anda pada akhirnya mengorbankan kepentingan orang lain. 
  • Amati gaya komunikasi Anda. Jadi, sebelum mulai merubah gaya komunikasi Anda menjad lebih assertive, amati gaya komunikasi Anda sehari-hari seperti apa. Apakah anda tipe yang menyuarakan pendapat Anda atau tetap diam? Apakah Anda mengatakan Ya pada tambahan pekerjaan Anda walaupun Anda overload? Apakah Anda takut atau orang yang tampak takut berbicara pada Anda?
  • Gunakan gaya komunikasi assertive. 
  1. I Statement. Melalui I statement, akan membuat orang lain tahu apa yang Anda pikirkan dan rasakan tanpa terdengar menuduh. Misalnya, menggunakan kalimat " Saya tidak setuju" lebih baik didengar daripada "Kamu salah" . Atau gunakan kalimat " Saya ingin Anda membantu saya dengan cara ini" daripada menggunakan kalimat "Anda perlu melakukan ini". Intinya, tetap gunakan pernyataan yang simple dan spesifik.
  2. Empati. Usahakan untuk selalu mengenali dan memahami bagaimana orang lain memandang situasi tesebut. Setelah mempertimbangkan sudut pandangnya, ungkapkan apa yang Anda butuhkan darinya. Misalnya, " Saya paham Anda sedang dalam masalah, namun pekerjaan ini perlu tetap diselesaikan, mari kita bicarakan apa yang masih bisa Anda kontribusikan"
  3. Eskalasi. Hal ini dilakukan jika upaya Anda dalam berperilaku assertive masih belum membuahkan hasil. Anda dapat memberitahukan kepada lawan bicara apa yang akan Anda lakukan jika setelahnya Anda masih belum puas dengan hasil yang diperoleh.
  • Berlatih mengatakan tidak. Mengatakan tidak, sulit dilakukan jika Anda tidak terbiasa melakukannya. Anda perlu mengetahui batasan Anda sendiri untuk membuat pekerjaan Anda lebih efektif dan tidak merasa seolah-olah dimanfaatkan. Jika Anda merasa kesulitan menolak permintaan, coba katakan " Saya tidak bisa melakukannya sekarang" tanpa ragu dan terus terang. Setidaknya berusahalah jujur dengan kondisi Anda tanpa merasa tidak nyaman. Cobalah untuk menemukan solusi yang sama-sama menguntungkan bagi semua orang.
  • Latih apa yang ingin Anda katakan. Jika sulit untuk mengemukakan apa yang Anda pikirkan dan inginkan, coba praktekan skenario umum yang mungkin akan Anda hadapi. Anda mungkin bisa coba mempraktekannya dengan teman atau anggota keluarga untuk memperoleh feedback.
  • Gunakan bahasa tubuh. Assertiveness tidak hanya tampak pada komunikasi namun juga bahasa tubuh. Bersikaplah percaya diri dengan mempertahankan postur tegak, melakukan kontak mata yang teratur dan menampilkan ekspresi wajah yang netral serta positif. Ingat, penggunaan bahasa tubuh juga butuh dilatih.
  • Mulai dari hal kecil. Latih keterampilan baru Anda dalam situasi yang beresiko rendah. Misalnya ketika berdiskusi dengan teman atau keluarga, Anda bisa mempraktekkannya lalu mengevaluasinya. 
  • Akui bahwa Anda tidak dapat mengontrol perilaku orang lain. Ketika Anda sudah mampu berperilaku assertive, jangan membuat kesalahan dengan menerima tanggung jawab atas bagaimana orang bereaksi terhadap perilaku assertive Anda. Misalnya, ketika mereka marah atau kesal terhadap perilaku assertive Anda, cobalah untuk tidak bereaksi sama. Selama Anda bersikap hormat dan tidak melanggar kebutuhan orang lain, maka Anda berhak mengatakan atau melakukan apa yang Anda inginkan. 








Daftar Pustaka

https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/stress-management/in-depth/assertive/art-20044644 

https://www.mindtools.com/pages/article/Assertiveness.htm


Sabtu, 11 Juli 2020

::: Rumination : Break the habit. Think about your joys :::


Redirecting My Thoughts to End Rumination & Alleviate Depression ...


Ketika kita mengalami hal yang tidak menyenangkan atau menemukan masalah seringkali kita teringat terus akan pengalaman tersebut. Misalnya, ketika kita tidak sengaja melewatkan peluang, terlanjur salah bicara, atau melakukan kesalahan. Kita mungkin mencoba memahaminya dalam pikiran kita, berusaha belajar dari pengalaman tersebut atau mungkin hanya sekadar mencari validasi bahwa hal tersebut seharusnya tidak terjadi. Pada satu waktu, merenungkan apa yang sudah terjadi memang baik sebagai bentuk self-reflection. Akan tetapi, aspek yang membedakan dari perenungan sebagai self reflection atau tidak adalah adanya fokus pada hal-hal negatif yang bersifat produktif. Ketika apa yang kita renungkan mengandung banyak hal negatif, dan kita lakukan secara berulang-ulang, yang terjadi justru kita terjebak dalam kondisi mental yang serius dan berbahaya. Dalam konteks psikologi, kondisi tersebut dikenal sebagai Rumination.


Rumination adalah bentuk kognisi/berpikir terus menerus yang berfokus pada konten negatif, umumnya masa lalu dan sekarang serta menghasilkan tekanan emosional. Nolen-Hoeksema (2008) mendefinisikan rumination sebagai cara untuk menanggapi tekanan - sesuatu yang melibatkan pemfokusan berulang dan pasif pada tekanan serta kemungkinan penyebab dan konsekuensinya. Rumination mewakili proses berpikir yang berlebihan dan fokus terhadap perasaan dan masalah seseorang bukannya terkait isi pemikiran. Ito dkk (2006) menggambarkan rumination sebagai kecenderungan untuk terus memikirkan sesuatu yang buruk, berbahaya atau tidak menyenangkan dalam waktu yang lama. Dalam hal ini, rumination berbeda dengan kekhawatiran. Rumination merupakan proses berkelanjutan dari sesuatu yang negatif, dan fokus pada masa lalu atau saat ini. Sedangkan kekhawatiran cenderung terkait dengan proses ketidakpastian yang berkelanjutan dan berfokus pada masa depan.

Rumination cukup sulit ditangani, hal ini karena sifatnya yang memperkuat diri sendiri. Ketika individu melakukan rumination terkait masalah atau hal lainnya, maka semakin kuat dorongan untuk melakukan rumination secara intens. Banyak terapi konvensional justru menggunakan cara yang meningkatkan kecenderungan untuk melakukan rumination, seperti meminta klien menceritakan pengalamannya secara detail. Atau terapi kognisi dimana klien diminta mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif mereka, namun yang terjadi justru mereka kembali tenggelam dalam rumination. Pada umumnya, rumination banyak dipicu oleh emosi sedih dan marah. Rumination yang dipicu oleh emosi marah, seringkali membuat ruminator sensitif dan mudah terprovokasi terhadap hal-hal kecil. Banyak dari ruminator yang marah melampiaskan emosi mereka terhadap orang lain secara berlebihan hingga pada akhirnya mereka terperangkap dalam lingkaran ruminatif depresif. 

Dampak dari rumination antara lain meningkatkan pemikiran ke arah yang negatif karena suasana hati yang negatif. Misalnya, ketika berpikir tentang masa lalu, ruminator cenderung fokus pada ingatan negatif, dan menilai peristiwa negatif sebagai sesuatu yang lebih sering terjadi dalam hidup mereka. Adapun jika ruminator berpikir tentang saat ini, Ia akan fokus pada masalah saat ini, seperti konflik dengan orang lain, lebih menyalahkan diri sendiri dan pesimis tentang penyelesaian masalah saat ini. Sedangkan ketika ruminator berpikir tentang masa depan, Ia akan menjadi kurang optimis dan menilai bahwa peristiwa positif akan lebih jarang terjadi pada mereka. Intinya, semua yang dipikirkan mengarah ke hal-hal negatif baik di masa lalu, kini dan masa depan. 

Selain pemikiran, rumination dapat mengganggu dalam hal pemecahan masalah. Rumination membuat individu tidak berdaya karena menguras motivasi dan inisiatif. Ruminator mungkin dapat memecahkan masalah, namun seringkali tidak optimal. Atau bahkan jika mereka menghasilkan solusi yang baik untuk permasalahan mereka, ruminator cenderung tidak percaya diri dengan solusi mereka dan meminta lebih banyak waktu untuk memikirkan solusi tersebut, Ia juga akan kurang percaya diri dalam mengimplementasikan solusinya (Ward, Lyubomirsky, Sousa & Nolen-Hoeksema, 2003).

Ruminator juga cenderung enggan terlibat dalam bentuk kegiatan apapun karena kekhawatirannya terhadap emosi negatif yang akan muncul. Hal ini membuat rumination juga dapat menghambat  perilaku instrumental* pada ruminator (Nolen & Hoeksema, 2008). Misalnya, ketika seseorang memiliki penyakit berat, namun karena Ia sudah jatuh dalam kondisi rumination (terjebak dengan pikiran-pikiran negatif tentang penyakitnya) yang seharusnya Ia ke dokter namun Ia justru takut dan tidak melakukannya. Selain itu, rumination juga dapat menjadi penyebab rusaknya hubungan sosial, karena orang lain yang tadinya mendukung cenderung menjadi bosan terhadap ketidakmampuan dan keengganan si ruminator untuk mengambil tindakan atau lepas dari rumination-nya (Hoeksema & Davis, 1999). Contohnya, ketika ruminator berulangkali menceritakan tentang pengalaman negatifnya kepada teman-temannya, tanpa mengambil tindakan atas pengalaman negatifnya tersebut. Hal ini  membuat teman-temannya lama-lama akan merasa muak dengan perilaku si ruminator dan memilih untuk menghindarinya. 

Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan rumination. Pertama, terapkan effective distraction, libatkan diri dalam kegiatan yang memunculkan pikiran positif. Misalnya melakukan hobby atau melakukan hal apapun yang menyenangkan. Intinya, ada kegiatan yang dilakukan untuk mengisi pikiran Anda, khususnya dengan pikiran positif. Hal ini diharapkan dapat mengalihkan pikiran dari rumination sementara waktu sehingga rumination tidak dapat muncul dan tidak menguasai pikiran serta memberikan ruminator reinforcement yang positif. Namun, effective distraction disini tidak termasuk pada kegiatan-kegiatan membahayakan diri seperti mabuk, penyalahgunaan narkoba atau perilaku agresif. Kedua, melakukan pemecahan masalah. Biasanya ruminator seringkali terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan abstrak dalam pikirannya seperti "mengapa ini terjadi? apa yang salah sehingga hal itu terjadi?". Bahkan ketika mereka berusaha menyelesaikan situasi, mereka akan cenderung menyimpulkan bahwa " Tidak ada yang bisa dilakukan". Hal itu perlu dicegah dengan berpikir jernih. Lakukan identifikasi, setidaknya satu hal konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Misalnya Anda terjebak dengan pikiran bahwa Anda tidak menyukai suasana kantor Anda sekarang, maka coba lah hubungi teman Anda sehingga bisa memperoleh brainstroming solusi yang lainnya. 

Cara lainnya, menurut Winch, Guy (2013) adalah mengubah perspektif kita menjadi perspektif orang ketiga saat melakukan analisa terhadap pengalaman negatif yang kita alami sehingga kita tidak langsung membayangkan dan merasakan emosi negatif yang ditimbulkan dari pengalaman tersebut. Ketika kita berperan sebagai orang ketiga, kita akan menafsir-ulang pengalaman tersebut hingga mampu membentuk pemahaman baru terhadap pengalaman negatif yang kita alami. Selain itu, ruminator juga dapat melakukan reframing emosi agar pengalaman negatif tersebut tidak terlalu memicu emosi yang negatif pula. Hal ini dengan cara merumuskan suatu penafsiran baru dari pengalaman yang memunculkan emosi negatif menjadi lebih positif. Misalnya ketika kita mengalami kegagalan, daripada terus menerus sedih dan kecewa terhadap pengalaman tersebut, kita bisa mengubah kegagalan tersebut sebagai motivasi untuk lebih berusaha lagi. 

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kegiatan merenung cenderung dikaitkan dengan sesuatu yang "maladaptive" melalui adanya rumination. Akan tetapi, kegiatan merenung sendiri memiliki sisi positif yang dinamakan adaptive self reflection. Kondisi tersebut terjadi ketika individu fokus pada bagian konkret dari situasi dan perbaikan yang dapat dilakukan. Rumination erat kaitannya dengan gangguan klinis lainnya seperti depresi, kecemasan, PTSD dan lainnya. Oleh karena itu, ruminator tetap disarankan untuk mencari bantuan dengan datang ke psikolog atau psikiater.



* Perilaku Instrumental adalah perilaku yang selalu memanfaatkan segala sesuatu yang ada di lingkungannya untuk membantu dirinya mencapai tujuan yang hendak dicapai.

Carla Grayson Quotes (With images) | Quotes, Feelings, Ruminations

Daftar  Pustaka
Sansone, Randy & Sansone, Lori. A. (2012). Rumination: Relationships with physical health. Jpurnal of innovations in clinical neuroscience Feb; 9(2): 29–34

Nolen-Hoeksema S, Wisco BE, Lyubomirsky S. Rethinking rumination. Perspectives in Psychological Science. 2008;3:400–424

 Ito T, Takenaka K, Tomita T, Agari I. Comparison of ruminative responses with negative rumination as a vulnerability factor for depression. Psychol Rep. 2006;99:763–772.

Noleh - Hoeksema, Vine, V & Gilbert Kirsten. (2013).  Rumination & Emotions. Handbook of Psychology of Emotions: Recent Theoretical Perspectives and Novel Empirical Findings. 

Guy, Winch. (2013). Emotional First Aid. 


https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.pinterest.dk%2Fpin%2F102808803970924755%2F&psig=AOvVaw0kbrF9qqnPIW4a29lab18L&ust=1594542731207000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCPidoIHlxOoCFQAAAAAdAAAAABAS

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.bphope.com%2Fblog%2Fredirecting-thoughts-ending-rumination-alleviating-depression-bipolar%2F&psig=AOvVaw3Ldc9_GUBnIzooXWJ0I79K&ust=1594543449672000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCIC86bfnxOoCFQAAAAAdAAAAABAL

Rabu, 25 Maret 2020

::: Review Buku (Part 2): Seni Hidup Minimalis (Francine Jay) :::

Hallooo,,,, review buku ini sudah jadi rencana lama saya sejak tahun 2019😱😱 OMG..
Jika Anda tertarik, Anda bisa cek review sebelumnya disini yaaa 😄sempat tertunda lama dikarenakan buku yang saya punya sempat hilang (ditelan kasur) 😜dan awalnya saya pikir tidak banyak yang minat tentang tema ini, secara masyarakat Indonesia banyak yang gaya hidupnya cenderung konsumtif yaaa...Masa iya udah koleksi ini-itu mahal-mahal mau dibuang? Gak sayang??But, surprisingly terakhir cek ternyata sudah ribuan yang tampaknya kepo untuk sekadar mencoba cari tahu gimana sih cara hidup minimalis hahaha termasuk saya yang gaya-gayaan doang 😝
Ok, kita mulai saja next review-nya yaaaa...👇 WARNING!! (Cukup panjang, jika bosan silakan skip)



Sebelumnya, saya sudah bahas  bagaimana penulis mencoba untuk menanamkan mindset pada Anda terkait betapa pentingnya hidup minimalis. Selanjutnya adalah bagaimana mindset tersebut Anda tuangkan ke dalam tindakan. Penulis menyebutkan metode STREAMLINE, dimana masing-masing hurufnya menyiratkan teknik atau tahapan yang perlu dilakukan.


Start over (Mulai dari awal)
Teknik ini mengajak Anda untuk berasumsi bahwa ketika Anda membersihkan rumah dari barang-barang, anggaplah itu sebagai hari pertama Anda masuk ke rumah. Jadi, Anda tidak perlu memulai dengan mengosongkan SELURUH isi rumah. Namun, lakukan dengan perlahan dan terbagi menjadi sub-sub kegiatan. Dalam hal ini, Anda dapat memilih bagian/tempat mana dulu yang akan Anda kosongkan. Inti dari teknik ini adalah mengeluarkan semua barang dari tempat yang Anda pilih, lalu Anda akan berperan sebagai kurator untuk memutuskan barang yang mana yang paling bermanfaat bagi Anda dalam tempat tersebut. Misalnya, Anda bisa mulai dari tempat kecil seperti laci mungkin? intinya, kuras terus isi laci Anda, lalu dipilih...dipilih...dipilih....

Trash, Treasure or Transfer (Buang, Simpan atau Berikan)
Pada teknik ini, barang dibagi menjadi 3 kategori yakni buang, simpan atau berikan. Namun pada prosesnya, Anda perlu menyiapkan tempat untuk barang kategori "diputuskan nanti", jika setelah 6 bulan atau setahun Anda tidak pernah "menengok" barang tersebut, tandanya Anda perlu membuang atau menyumbangkan benda yang ada di dalamnya. Untuk barang kategori "buang" intinya adalah barang-barang yang memang sudah tidak dapat digunakan lagi, entah rusak, kadaluarsa, tidak layak diperbaiki bahkan tidak layak disumbangkan. Misalnya makanan basi, kosmetik dan obat kadaluarsa. Sementara untuk barang kategori "simpan" adalah barang yang memang Anda sukai entah karena estetika ataupun fungsi. Barang yang Anda sukai disini maksudnya ketika Anda melihatnya, Anda menikmatinya. Namun jika barang tersebut bahkan tidak Anda pajang dan Anda tidak merasa menikmati keberadaan barang itu, artinya tidak layak untuk disimpan. Misalnya, lukisan.. namun pastikan ketika Anda melihat lukisan tersebut, Anda benar-benar menikmati seni tersebut bukan hanya sekadar pengisi dinding kosong 😜. Kemudian barang kategori "berikan" adalah barang dengan kondisi masih baik namun sudah tidak bermanfaat bagi Anda. Untuk kategori ini, biasanya dibedakan lagi ke dua kategori yakni donasi dan jual. Misalnya, kardus atau koran bekas bagi Anda mungkin hanya sampah namun bagi orang lain bisa jadi bernilai lebih. 

Reason for each item (Alasan setiap barang)
Penulis menjelaskan bahwa Anda perlu memikirkan alasan mengapa barang itu layak menjadi bagian dari rumah Anda. Intinya, barang itu harus memiliki kegunaan yang positif. Dalam tahap ini Anda perlu lebih cermat, karena bisa saja barang tersebut memiliki fungsi yang positif, namun ternyata sudah ada yang mirip di rumah Anda. Selain itu, pertimbangkan juga adanya barang-barang "kembar" yang biasanya ada dalam jumlah banyak seperti klip kertas, karet gelang, peniti. Namun, pikirkan lagi bahwa Anda tidak mungkin memakai begitu banyak klip kertas, peniti atau karet gelang bersamaan bukan? Jadi, segenggam dari barang tersebut seharusnya cukup untuk kebutuhan Anda. Anda perlu mengevaluasi setiap barang terkait apa fungsinya dan seberapa sering Anda gunakan. Lebih mudahnya, penulis menjelaskan bahwa Anda dapat menerapkan hukum pareto 80/20, yakni dalam 80% waktu kita hanya menggunakan 20% semua barang yang kita miliki. 

Everything in its place (Semua barang pada tempatnya)
Penulis menyarankan agar Anda memberi tempat pada setiap barang yang Anda miliki. Sehingga barang-barang tersebut tidak akan "tercecer" atau menumpuk di dalam rumah. Namun untuk penentuan tempatnya, Anda perlu mempertimbangkan seberapa sering Anda menggunakan barang tersebut. Penulis menyebutkan adanya 3 kategori yakni inner circle, outer circle dan deep storage. Inner circle untuk menyimpan barang yang sering atau sehari-hari digunakan. Outer circle untuk barang yang frekuensi penggunaannya lebih jarang atau mudahnya digunakan seminggu atau bahkan setahun sekali. Sementara deep storage untuk barang-barang yang biasa ditaruh di luar ruangan. Ketika Anda sudah menemukan tempat untuk semua barang Anda, tugas selanjutnya adalah mengembalikan setiap barang ke tempatnya semula jika sudah selesai digunakan. 

All surfaces clear (Semua permukaan bersih)
Terkadang memang sulit untuk membiarkan meja atau lantai terlihat kosong begitu saja. Namun penting untuk berpikir bahwa permukaan yang kosong bukanlah tempat untuk menyimpan barang. Agar lebih mudah, mungkin Anda dapat berpura-pura membayangkan bahwa permukaan yang kosong itu bersifat licin dan miring sehingga tidak mungkin Anda menaruh barang diatasnya. Intinya, jika ada permukaan yang seharusnya kosong namun tidak karena adanya barang, Anda perlu segera untuk mengosongkannya lagi.

Modules (Ruang)
Penulis menjelaskan bahwa Anda perlu membuat "ruang" dengan cara mengumpulkan barang dengan fungsi yang mirip ke dalam 1 wadah. Selain itu, hal ini bisa membantu Anda untuk mengetahui seberapa banyak barang yang Anda miliki sehingga dapat mencegah Anda membeli barang yang mirip di kemudian hari. Misalnya, cari semua pulpen yang ada di dalam rumah Anda kemudian masukkan ke dalam wadah untuk menjadi "ruang" alat tulis.

Limits (Batas)
Terapkan batas untuk barang-barang Anda. Misalkan, Anda hanya memiliki 1 rak buku atau 1 tempat dvd maka batasi barang-barang Anda agar hanya cukup di dalam wadah yang Anda miliki tersebut. Jangan justru menambah wadah yang sudah ada yaa..Awalnya mungkin sulit, namun ketika Anda sudah nyaman dengan memberlakukan batas, Anda bisa menerapkan batas tidak hanya terhadap barang namun juga hal lainnya seperti konsumsi, makanan dll.

If one comes in, one goes out (Satu masuk, satu keluar)
Jika Anda berniat menambah barang baru, Anda perlu mengeluarkan barang lama yang serupa. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan antara barang yang masuk dengan barang yang keluar. Contoh, Anda ingin membeli kemeja baru yang menurut Anda modelnya sedang trend, agar barang tidak menumpuk, Anda perlu "membuang" kemeja lama Anda yang lainnya. Akan tetapi, biasanya hal ini sulit dilakukan, karena kebanyakan ketika Anda sudah mendapatkan barang yang baru, Anda justru menyimpan barang yang lama. Bahkan, bisa jadi barang lama akan "terlihat" tidak seburuk yang Anda pikirkan seperti sebelumnya sehingga tidak "layak" untuk disingkirkan. Anda perlu banyak mendisiplinkan diri dalam hal ini.

Narrow Down (Kurangi)
Ketika Anda sudah cukup mahir "membuang" barang Anda, bukan berarti Anda sudah mencapai taraf tertinggi dalam gaya hidup minimalis. Inti dari hidup minimalis adalah Anda memiliki barang dalam jumlah yang cukup dengan kebutuhan Anda, tidak lebih dan tidak kurang. Akan tetapi, kebutuhan setiap orang berbeda-beda, bisa jadi 1 barang adalah kebutuhan primer bagi saya namun bukan bagi orang lain. Jadi, Anda lah yang perlu menentukan daftar kebutuhan barang Anda sendiri sebagai seorang minimalist, jika bukan termasuk kebutuhan primer maka buanglah barang tersebut. Hal ini tentu sulit, namun yang perlu Anda lakukan hanya bagaimana caranya mengurangi barang yang ada hingga hanya barang yang benar-benar kebutuhan Anda lah yang tersisa. Cara mudahnya, Anda hanya perlu berhenti sejenak untuk mempertimbangkan tingkat kepentingan suatu barang. Jika tidak efektif, Anda mungkin bisa memilih menyimpan barang yang bersifat multiguna. Misalnya, ponsel dengan berbagai fitur lengkap, seperti kamera, kalendar, jam, kalkulator sehingga Anda tidak perlu lagi membeli barang yang serupa dengan fitur-fitur tersebut. Atau memilih barang yang memiliki tampilan netral, misalnya sepatu hitam yang dapat Anda gunakan di berbagai kesempatan dibandingkan sepatu berwarna terang yang perlu usaha untuk mengkombinasikannya. Jika terkait dengan barang yang memiliki kenangan, Anda tidak perlu menyimpan semua barang namun cukup pilih satu barang saja. Cara lainnya adalah menjadikan barang-barang dalam bentuk digital, seperti e-book, foto, film dll.

Everyday maintenance (Perawatan setiap hari)
Ketika teknik-teknik di atas dapat Anda lakukan, bukan berarti Anda sudah selesai menerapkan gaya hidup minimalis. Namun Anda perlu menjadikan teknik-teknik itu sebagai suatu siklus. Jika ruangan Anda sudah "bersih", jangan lengah membiarkan barang-barang kembali terkumpul. Bersihkan barang di permukaan yang kosong begitu Anda melihatnya sehingga mencegah penumpukan barang. Atau jika anggota keluarga lain yang menyebabkan barang di rumah Anda tidak pada tempatnya, Anda dapat dengan tegas mengembalikan barang ke tempat semula. Sehingga anggota keluarga lain dapat mengerti  dan berpikir dua kali jika menaruh barang sembarangan.

Sekian part 2 dari review buku Francis Jay, semoga membantu Ands untuk lebih termotivasi memulai gaya hidup minimalis. Saran saya, lakukan saja secara perlahan namun konsisten karena yang kita lakukan bukan hanya merubah sekadar kegiatan namun sebuah siklus gaya hidup yang lebih bersifat long-term. Terima kasih 😁

Sumber: Jay, Francine (2018)

:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::

Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....      Pernah tidak merasa emos...