Sabtu, 11 Desember 2021

:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::


Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....
    
Pernah tidak merasa emosi negatif muncul karena tiba-tiba teringat dengan peristiwa yang tidak menyenangkan padahal kita "merasa" sudah lupa dan "selesai" dengan peristiwa atau orang yang berkaitan? Atau mungkin baru saja berduka namun belum sempat untuk  mengemukakan emosi atau perasaan kita kepada orang tersebut? Mungkin istilah zaman sekarang dapat disebut belum move on ya, sekilas terlihat sepele sepanjang orang yang mengalaminya masih bisa melanjutkan kehidupan secara normal, namun kondisi tersebut bisa berpengaruh sangat besar lho ke depannya, jika kita belum bisa "menyelesaikannya"..Dalam konteks psikologi, kondisi tersebut dikenal dengan istilah "Unfinished Business". 
    Secara spesifik, saya pernah membahas unfinished business pada individu yang berduka disini. Akan tetapi, unfinished business sendiri dapat terjadi karena berbagai hal diantaranya, situasi duka  dimana individu tidak sempat mempersiapkan diri dengan perpisahan, menghadapi putus hubungan yang dilakukan dengan tidak jelas (ghosting?), traumatic event seperti korban bully serta interaksi sosial yang bersifat tidak menyenangkan misalnya ketika kita disakiti namun tidak menerima permintaan maaf dari orang yang sudah menyakiti kita. Pengalaman buruk membuat kita merespon dengan berbagai cara, namun cara yang paling umum adalah dengan menghindar. Namun respon menghindar tersebut bukan berarti membuat emosi negatif yang muncul dari pengalaman buruk itu hilang. Unfinished business  adalah emosi yang berkaitan dengan pengalaman buruk di masa lalu namun tidak berhasil diekspresikan karena dinilai terlalu menyakitkan. Unfinished business dapat terjadi dari peristiwa emosional yang terjadi namun emosi yang muncul tersebut ditekan atau tidak menemukan resolusi terhadap pengalaman tersebut. Emosi tersebut  bersifat menetap dan berhubungan dengan sosok yang dekat atau pernah dekat, belum berhasil diutarakan dan bersifat problematis atau merugikan individu saat ini. 
    Lalu, mengapa unfinished business sangat penting untuk "diselesaikan"? Menurut Elliott et al (2005), energi individu akan terkunci di masa lalu jika masih belum menyelesaikan unfinished business yang dialaminya. Sehingga Ia akan cenderung terjebak dalam pola dimana dirinya masih menggunakan pengalaman masa lalu sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, padahal hal tersebut sudah tidak relevan. Unfinished business dapat mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan orang lain ke depannya dan mengubah cara kita melihat dunia. Individu dengan isu unfinished business, akan cenderung membenci masa lalu dan tidak fokus di masa sekarang atau masa depan karena pada dasarnya Ia belum menemukan resolusi terhadap isunya tersebut. 
    Jika kita ingin menyelesaikan unfinished business, bukan berarti kita harus melupakan peristiwa atau orang terkait di dalamnya. Justru, kita harus berani untuk mengenal lebih dekat pengalaman atau emosi yang dialami di masa lalu dan melepaskan emosi yang dirasakan. Kita harus tahu apa yang kita inginkan dan mengapa agar dapat menemukan resolusi dari unfinished business yang kita hadapi. Sehingga pada akhirnya kita bisa dengan bebas bergerak maju tanpa merasa menyesal dan menggunakan pengalaman yang lalu untuk membangun hubungan baru yang bermakna untuk diri sendiri. Dalam hal ini, saya coba mencontohkan unfinished business dalam hal berduka. Hal ini mengacu pada perasaan bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan atau belum dikatakan kepada Almarhum. Unfinished business tersebut akan terus menerus menimbulkan emosi sesal, sehingga menghambat kita untuk berhasil melalui tahap berduka. Ketika kita memutuskan untuk menyelesaikan unfinished business tersebut, kita perlu paham bahwa tujuan kita menyelesaikan hal tersebut adalah agar seterusnya tidak terjebak dalam rasa penyesalan dan menemukan insight dari pengalaman berduka tersebut. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari dan menerima emosi penyesalan tersebut, kita dapat memvisualisasikan penyesalan tersebut dengan cara menuliskan penyesalan kita atau hal-hal yang belum sempat diungkapkan atau datang ke psikolog untuk melakukan terapi. Lalu berusaha mencapai resolusi dengan berusaha menemukan hal positif yang terjadi, memaafkan orang lain atau diri sendiri dan semua hal yang membantu kita memproses unfinished business tersebut. Melalui resolusi yang kita lakukan, pada akhirnya kita akan mampu menemukan insight yang membantu untuk "menyelesaikan" unfinished business. Misalnya dengan menuliskan apa saja yang belum sempat kita ungkapkan kepada Almarhum, dapat membantu kita secara unconscious melepaskan emosi penyesalan yang kita rasakan. Selain itu, melalui rasa penyesalan, insight yang bisa diperoleh adalah kita jadi lebih memaknai keberadaan orang yang masih ada di sekitar kita dan menyadari apa yang salah dari sikap kita. Sehingga kita tidak memandang penyesalan tersebut sebagai sesuatu yang sangat buruk.
    Dalam proses menyelesaikan unfinished business dalam kasus apapun, kuncinya adalah kita harus mengetahui dan berani menerima kenyataan terkait unfinished business yang kita hadapi. Untuk selanjutnya menganalisa apa yang perlu dilakukan untuk bisa mencapai resolusi dari unfinished business tersebut. Memang bukan proses yang singkat dan cepat namun dapat tercapai apabila kita "menyadari" untuk mau menyelesaikannya. Demikian konsep unfinished business yang dapat saya sampaikan, semoga membantu bagi kalian yang masih berjuang untuk menyelesaikannya ya 😀


Daftar Pustaka

https://psychcentral.com/blog/relationship-skills/2014/02/8-steps-to-finishing-unfinished-business#2

http://pagr.net/resources/articles/unfinished-business/

https://touchedbyahorse.com/unfinished-business/

https://digitalscholarship.unlv.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3189&context=thesesdissertations&httpsredir=1&referer=

https://medium.com/practical-growth/how-to-tackle-unresolved-issues-28ef2a68fc26

https://ce.nationalregister.org/wp-content/uploads/2020/07/Responding-to-Loss-Online-During-a-Crisis-Neimeyer.pdf


Sabtu, 16 Oktober 2021

::: How to Consult a Psychologist? :::

 



  "Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat", tidak asing ya dengan quote tersebut. Banyak orang yang mengutamakan kesehatan fisik namun tidak dengan kesehatan jiwa. Padahal kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Lalu, jika jiwa kita sudah mulai tidak sehat, apa yang perlu dilakukan? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah datang ke psikolog atau psikiater untuk sekadar konsultasi atau jika harus, melakukan terapi (termasuk terapi obat). Akan tetapi, hal tersebut masih banyak dianggap tabu oleh masyarakat kita. Stigma seperti gila, gangguan mental atau kelainan jiwa masih sangat erat kaitannya dengan berobat ke psikolog atau psikiater. Kebanyakan dari kita akan merasa takut dan malu atau bahkan marah jika orang lain tahu kita datang ke psikolog atau psikiater. Selain stigma, banyak orang juga masih ragu untuk datang ke psikolog/psikiater terkait biaya nya yang notabene mahal (karena dibayar per sesi bisa 1-2 jam, tergantung kebutuhan). Akan tetapi, jika kita mau "sedikit" berusaha mencaritahu, saat ini sudah banyak pihak-pihak (pemerintah/swasta) yang menyediakan layanan pengobatan ke psikolog/psikiater secara gratis. Akan tetapi, banyak juga masyarakat yang tahu bahwa ada layanan konseling atau terapi sebagai solusinya, namun ego mereka masih tinggi sehingga menganggap masalahnya tidak cukup besar, merasa diri sendiri kuat sehingga tidak butuh bantuan. 

    Dari sekian alasan mengapa banyak orang masih ragu atau tidak mau datang ke psikolog/psikiater, mayoritas juga masih bingung, perbedaan antara fungsi psikolog dengan psikiater, sehingga jika mereka sadar untuk berobat pun masih belum bisa menentukan mana yang tepat harus dikunjungi. Sekadar informasi, psikiater tidak sama dengan psikolog, fungsi mereka berbeda namun saling mendukung. Psikiater adalah dokter spesialis yang fokus menangani kesehatan jiwa dengan memberikan layanan terapi dan konseling sekaligus memiliki wewenang untuk meresepkan obat dan melakukan prosedur/tindakan medis. Sedangkan psikolog fokus pada layanan konseling dan dukungan non medis, mereka juga dapat memberikan terapi dan konseling namun tidak memiliki wewenang untuk memberikan resep dan obat. Walaupun fungsi mereka berbeda, namun tetap saling mendukung. Misalnya, ketika klien dari psikolog setelah didiagnosa membutuhkan penanganan lebih dalam seperti butuh terapi obat, maka psikolog tsb akan merujuknya ke psikiater, begitupun sebaliknya.

    Dalam rangka memperingati bulan kesehatan mental, saya akan sharing sedikit pengalaman saya dalam mengikuti sesi konsultasi ke psikolog. Sehingga harapannya bisa memberikan review yang valid dan dapat mendorong pembaca yang mungkin membutuhkan bantuan untuk bisa termotivasi mengikuti sesi konseling atau terapi dengan psikolog. Disclaimer, saya sudah melalui beberapa sesi konseling dengan psikolog yang berbeda-beda dan dengan kasus psikologis yang berbeda. Namun disini saya hanya akan menjelaskan secara umum saja ya..Sebelum memutuskan untuk  pergi ke psikolog, kita perlu aware terhadap gejala-gejala psikologis yang terjadi dalam diri kita sebagai warning bahwa kita perlu bantuan yang lebih ahli, dalam hal ini psikolog. Saya sendiri, cukup lama memutuskan untuk akhirnya konseling ke psikolog, sampai pada akhirnya mengalami gejala-gejala psikologis yang di tahap saya tidak mampu mengatasinya sendiri. 

    Adapun gejala tersebut bisa dalam bentuk perubahan emosi yang tidak terkendali dan berubah-ubah, dimana kita sendiri secara pribadi tidak bisa mengatasinya. Misalnya terus menerus merasa sedih, mudah marah dan perubahan emosi tersebut mulai mengganggu aktivitas dan produktifitas kita sehari-hari.  Selain gejala psikologis dalam diri, situasi yang terjadi pada diri kita pun bisa menjadi warning, misalnya mengalami hal yang traumatis yang membuat kita berduka dalam waktu berkepanjangan seperti pelecehan, KDRT atau hal lain yang membuat trauma sehingga butuh dukungan, terapi atau bantuan dari psikolog untuk mengatasi trauma tsb. Dalam hal ini, saya sendiri memutuskan untuk konseling ke psikolog karena emosi yang saya rasakan berlangsung terus menerus akibat situasi traumatis yang saya alami sebelumnya. Emosi tersebut sangat berpengaruh terhadap respon dan tindakan saya sehari-hari sehingga sudah cukup mengganggu aktivitas saya. Selain gejala psikologis, tidak adanya support system (keluarga/teman) yang bisa membantu kita sekadar mendengar keluhan juga bisa menjadi alasan yang cukup valid untuk datang ke psikolog. Pada kasus saya sendiri, saya memiliki support system yang cukup baik, namun saya merasa keluarga/teman tidak akan objektif dalam membantu permasalahan saya. Selain itu, saya juga tetap membutuhkan reinforcement (penguatan) dari psikolog untuk proses healing

    Setelah memutuskan untuk konseling ke psikolog, terdapat beberapa hal yang perlu dipersiapkan agar sesi konseling yang kita jalani lebih efektif dan efisien. Maklum, saat itu saya menggunakan jasa konseling yang berbayar, sehingga saya harus menggunakan sesi tersebut semaksimal mungkin. Yang pertama saya lakukan adalah menentukan tujuan saya ke psikolog itu untuk apa. Saat itu, kebetulan saya sudah sedikit mengetahui permasalahan psikologis saya (bukan self-diagnose namun setidaknya saya sadar issue psikologis yang saya hadapi) sehingga tujuan saya saat itu adalah agar saya bisa pulih dari permasalahan psikologis tsb dan selanjutnya tidak menyakiti orang-orang di sekitar saya terutama keluarga, atas dampak dari permasalahan psikologis yang saya alami. Jadi, dalam hal ini saya sudah sadar bahwa keadaan mental saya sedang tidak baik dan saya tidak mau orang disekitar saya terkena dampaknya. Sekadar informasi, kesadaran kita terhadap keadaan mental kita merupakan satu langkah yang baik dalam proses healing

    Jika memang belum tahu issue psikologisnya apa dan tujuannya apa, kita bisa catat gejala psikologis apa yang kita alami seperti perasaan, emosi, mood dan hal-hal yang men-trigger. Jika perlu jauh-jauh hari sebelum ke psikolog, kita mencatat itu semua, termasuk seberapa besar dampak gejala psikologis tsb terhadap tindakan dan respon kita. Penting juga untuk mencatat apa yang ingin disampaikan kepada psikolog terkait permasalahan kita. Setelah siap dengan daftar tersebut, jika memungkinkan kita juga dapat mencari tahu nama-nama psikolog yang spesialisasi kasusnya sesuai dengan kasus kita. Walaupun biasanya di layanan konseling sudah dibantu untuk disesuaikan, namun tidak ada salahnya kita memilih sendiri psikolog yang menurut kita lebih tepat (semacam memilih dokter). 

    Selain itu, dari sisi mental kita juga perlu mempersiapkan diri karena dalam proses konseling nanti, secara tidak langsung psikolog akan "membuka" emosi atau luka psikologis yang kita alami. Oleh karena itu, jangan mencoba untuk menutup-nutupi atau berpura-pura. Jadilah diri sendiri, jangan takut untuk mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan kita karena psikolog sendiri mempunyai kode etik sehingga menjamin kerahasiaan kita. Untuk penjadwalannya sendiri, usahakan di waktu yang memang luang karena proses konseling adalah hal yang melelahkan dan menguras energi. Kita bisa lelah hanya karena banyak mengeluarkan emosi bukan? Terakhir adalah memperhitungkan budget jika memang memilih layanan konseling berbayar. Untuk info terkait layanan konseling gratis, ada dibagian bawah. 

    Lalu, apa yang dilakukan saat kita ke psikolog? Sebelum sesi konseling di mulai,  saya diberikan formulir data diri yang berisi informasi data diri secara umum, keluhan yang dialami (berisi permasalahan yang ingin didiskusikan, tujuan konseling yang diinginkan dan gejala umum gangguan psikologis), informasi keluarga, informasi wali dan biaya yang perlu dibayarkan. Pertama, psikolog biasanya akan membangun rapor dulu (basa-basi) dengan  kita. Setelahnya baru menanyakan apa yang saya rasakan (seperti kita ke dokter), atau ada juga yang langsung menanyakan apa tujuan atau yang kita inginkan dengan datang ke psikolog. Karena saya sudah tahu tujuan saya ke psikolog untuk apa, jadi biasanya saya langsung menjelaskan tujuan saya, gejala psikologis apa yang saya alami, apa saja yang membuat saya ter-trigger dan kadang saya juga memberitahu apa saja yang tidak bisa saya sampaikan pada orang lain bahkan kepada keluarga sekalipun. Dalam sesi konseling, biasanya saya yang lebih banyak memberikan informasi kepada psikolog tentang situasi saya, bahkan saya juga memberitahu langka-langkah apa saja yang sudah saya lakukan untuk meminimalisir persoalan psikologis saya, hanya untuk memastikan apakah yang saya lakukan sudah benar atau tidak. Hal ini saya lakukan karena dengan kita aware terhadap diri kita, bisa memudahkan psikolog untuk melakukan penanganan yang tepat kepada diri kita. Dari hal-hal yang ditanyakan oleh psikolog sendiri, cenderung pertanyaan yang memang mengarahkan kita untuk bisa menemukan insight dari permasalahan psikologis yang kita hadapi. 

    Dalam sesi konseling sendiri, kita bebas bertanya apapun kepada psikolog terkait keluhan kita atau yang berkaitan dengan sesi konseling tersebut. Misalnya teknik apa yang digunakan oleh psikolog kepada kita, berapa kali sesi konseling yang diperlukan, apa ada yang perlu dilakukan di rumah untuk menunjang sesi konseling, termasuk apakah perlu melibatkan anggota keluarga di sesi konseling berikutnya. Di kasus saya, waktu itu saya diberikan "PR" untuk dilakukan di rumah sebelum pertemuan konseling berikutnya. PR yang dimaksud biasanya berisi kegiatan yang bertujuan agar kita memahami diri sendiri, aware terhadap emosi yang dirasakan atau sekadar menuliskan hal-hal yang tidak dapat atau belum sempat kita sampaikan. Mulai dari awal sesi konseling, jujur sudah banyak manfaat yang saya rasakan diantaranya, psikolog tidak hanya sekadar mendengarkan keluhan dan memberi saran namun juga membantu saya menemukan dasar dari permasalahan saya yang tidak saya sadari sebelumnya dengan bekal kompetensi (teknik konseling & terapi) yang dimilikinya. Psikolog juga membantu saya untuk belajar mengubah dan memperbaiki perspektif saya terhadap permasalahan yang saya hadapi. Selain itu, psikolog sendiri adalah pihak yang netral sehingga akan bersikap objektif dalam memandang permasalahan saya. Hal ini membuat saya merasa bebas dan aman dalam mengemukakan sikap dan pemikiran saya. Saya juga diberitahu cara untuk mengatasi gejala-gejala psikologis yang saya alami, agar ke depannya saya bisa mengatasinya secara mandiri. 

Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa tips yang dapat dilakukan jika berminat untuk konseling ke psikolog, antara lain:
- Konsultasi ke psikolog bukan proses yang instan, biasanya untuk satu case minimal 2-3 kali pertemuan. Hal ini karena butuh kerjasama antara psikolog dengan klien. Semakin kita aware terhadap permasalahan diri kita, maka akan lebih cepat untuk pulih. Jika memang kita tidak cocok dengan psikolognya, kita bisa saja mengganti psikolognya namun bukan mengakhiri prosesnya.
- Jika kita ingin memaksimalkan setiap sesi konseling, usahakan untuk mencatat perubahan yang terjadi atas saran-saran yang diberikan oleh psikolog untuk kita lakukan. Sehingga kita bisa tahu sudah sejauh mana kita bangkit dari permasalahan kita. Bahkan untuk perubahan kecil pun tidak masalah asalkan bisa membawa kita kembali ke kondisi mental yang sehat.
- Saat konseling ke psikolog, kita tidak harus membicarakan hal-hal berat atau masalah-masalah besar untuk diselesaikan saat itu juga. Namun dengan diskusi sederhana pun terkadang bisa membantu kita menemukan insight yang bisa membawa kemajuan dalam sesi konseling
- Sekalipun psikolog adalah seorang pakar, namun kita berhak untuk tidak setuju terhadap saran atau teknik yang digunakan. Misalnya dalam melakukan terapi ada teknik yang kita sulit untuk melakukannya, kita bisa mengkomunikasikannya pada psikolog. Intinya sesi konseling/terapi harus benar-benar nyaman dan aman untuk klien, sehingga psikolog pun dapat lebih mudah menerapkan penanganan yang tepat untuk kita. 

Berikut beberapa rujukan terapi atau konseling psikologi

  • Gratis
  1. Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), menyediakan  layanan konseling gratis. Caranya dengan menghubungi kontak HIMPSI yang ada di beberapa wilayah indonesia. 
  2. Ikatan Psikolog Klinis Indonesia 
  3. Yayasan Praktek Psikolog Indonesia
  4. Berbagi Cerita
  5. Perguruan Tinggi, di beberapa fakultas psikologinya menyediakan layanan konsultasi dengan psikolog gratis
  6. BPJS

  • Berbayar

  • Konseling Online

1. Ibunda: https://www.ibunda.id/layanan

2. Halodoc: https://www.halodoc.com/tanya-dokter/kategori/psikolog-klinis

3. Riliv: https://riliv.co/konseling

4. Kalm: https://get-kalm.com/id/

5. Pijar Psikologi: https://pijarpsikologi.org/konsulgratis/

6. Klee: https://kleezen.com/halaman_konseling.php

7. Kariib:  https://kariib.com/layanan-kami/

8. Psikologimu: http://psikologimu.co/

9. Sehat Jiwa

10. Alpas.id


Demikian beberapa hal yang dapat saya share terkait konseling ke psikolog. Semoga dapat menjadi gambaran dan  memotivasi pembaca untuk dapat melakukan konseling jika dirasa membutuhkan. Terima kasih!


Daftar Pustaka

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.yourtango.com%2F2020333942%2Fquotes-about-therapy&psig=AOvVaw2iqGsIApUbqT7lRQSEJgib&ust=1634471940082000&source=images&cd=vfe&ved=0CAsQjRxqFwoTCKjOidDwzvMCFQAAAAAdAAAAABAe



:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::

Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....      Pernah tidak merasa emos...