Sabtu, 11 Juli 2020

::: Rumination : Break the habit. Think about your joys :::


Redirecting My Thoughts to End Rumination & Alleviate Depression ...


Ketika kita mengalami hal yang tidak menyenangkan atau menemukan masalah seringkali kita teringat terus akan pengalaman tersebut. Misalnya, ketika kita tidak sengaja melewatkan peluang, terlanjur salah bicara, atau melakukan kesalahan. Kita mungkin mencoba memahaminya dalam pikiran kita, berusaha belajar dari pengalaman tersebut atau mungkin hanya sekadar mencari validasi bahwa hal tersebut seharusnya tidak terjadi. Pada satu waktu, merenungkan apa yang sudah terjadi memang baik sebagai bentuk self-reflection. Akan tetapi, aspek yang membedakan dari perenungan sebagai self reflection atau tidak adalah adanya fokus pada hal-hal negatif yang bersifat produktif. Ketika apa yang kita renungkan mengandung banyak hal negatif, dan kita lakukan secara berulang-ulang, yang terjadi justru kita terjebak dalam kondisi mental yang serius dan berbahaya. Dalam konteks psikologi, kondisi tersebut dikenal sebagai Rumination.


Rumination adalah bentuk kognisi/berpikir terus menerus yang berfokus pada konten negatif, umumnya masa lalu dan sekarang serta menghasilkan tekanan emosional. Nolen-Hoeksema (2008) mendefinisikan rumination sebagai cara untuk menanggapi tekanan - sesuatu yang melibatkan pemfokusan berulang dan pasif pada tekanan serta kemungkinan penyebab dan konsekuensinya. Rumination mewakili proses berpikir yang berlebihan dan fokus terhadap perasaan dan masalah seseorang bukannya terkait isi pemikiran. Ito dkk (2006) menggambarkan rumination sebagai kecenderungan untuk terus memikirkan sesuatu yang buruk, berbahaya atau tidak menyenangkan dalam waktu yang lama. Dalam hal ini, rumination berbeda dengan kekhawatiran. Rumination merupakan proses berkelanjutan dari sesuatu yang negatif, dan fokus pada masa lalu atau saat ini. Sedangkan kekhawatiran cenderung terkait dengan proses ketidakpastian yang berkelanjutan dan berfokus pada masa depan.

Rumination cukup sulit ditangani, hal ini karena sifatnya yang memperkuat diri sendiri. Ketika individu melakukan rumination terkait masalah atau hal lainnya, maka semakin kuat dorongan untuk melakukan rumination secara intens. Banyak terapi konvensional justru menggunakan cara yang meningkatkan kecenderungan untuk melakukan rumination, seperti meminta klien menceritakan pengalamannya secara detail. Atau terapi kognisi dimana klien diminta mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif mereka, namun yang terjadi justru mereka kembali tenggelam dalam rumination. Pada umumnya, rumination banyak dipicu oleh emosi sedih dan marah. Rumination yang dipicu oleh emosi marah, seringkali membuat ruminator sensitif dan mudah terprovokasi terhadap hal-hal kecil. Banyak dari ruminator yang marah melampiaskan emosi mereka terhadap orang lain secara berlebihan hingga pada akhirnya mereka terperangkap dalam lingkaran ruminatif depresif. 

Dampak dari rumination antara lain meningkatkan pemikiran ke arah yang negatif karena suasana hati yang negatif. Misalnya, ketika berpikir tentang masa lalu, ruminator cenderung fokus pada ingatan negatif, dan menilai peristiwa negatif sebagai sesuatu yang lebih sering terjadi dalam hidup mereka. Adapun jika ruminator berpikir tentang saat ini, Ia akan fokus pada masalah saat ini, seperti konflik dengan orang lain, lebih menyalahkan diri sendiri dan pesimis tentang penyelesaian masalah saat ini. Sedangkan ketika ruminator berpikir tentang masa depan, Ia akan menjadi kurang optimis dan menilai bahwa peristiwa positif akan lebih jarang terjadi pada mereka. Intinya, semua yang dipikirkan mengarah ke hal-hal negatif baik di masa lalu, kini dan masa depan. 

Selain pemikiran, rumination dapat mengganggu dalam hal pemecahan masalah. Rumination membuat individu tidak berdaya karena menguras motivasi dan inisiatif. Ruminator mungkin dapat memecahkan masalah, namun seringkali tidak optimal. Atau bahkan jika mereka menghasilkan solusi yang baik untuk permasalahan mereka, ruminator cenderung tidak percaya diri dengan solusi mereka dan meminta lebih banyak waktu untuk memikirkan solusi tersebut, Ia juga akan kurang percaya diri dalam mengimplementasikan solusinya (Ward, Lyubomirsky, Sousa & Nolen-Hoeksema, 2003).

Ruminator juga cenderung enggan terlibat dalam bentuk kegiatan apapun karena kekhawatirannya terhadap emosi negatif yang akan muncul. Hal ini membuat rumination juga dapat menghambat  perilaku instrumental* pada ruminator (Nolen & Hoeksema, 2008). Misalnya, ketika seseorang memiliki penyakit berat, namun karena Ia sudah jatuh dalam kondisi rumination (terjebak dengan pikiran-pikiran negatif tentang penyakitnya) yang seharusnya Ia ke dokter namun Ia justru takut dan tidak melakukannya. Selain itu, rumination juga dapat menjadi penyebab rusaknya hubungan sosial, karena orang lain yang tadinya mendukung cenderung menjadi bosan terhadap ketidakmampuan dan keengganan si ruminator untuk mengambil tindakan atau lepas dari rumination-nya (Hoeksema & Davis, 1999). Contohnya, ketika ruminator berulangkali menceritakan tentang pengalaman negatifnya kepada teman-temannya, tanpa mengambil tindakan atas pengalaman negatifnya tersebut. Hal ini  membuat teman-temannya lama-lama akan merasa muak dengan perilaku si ruminator dan memilih untuk menghindarinya. 

Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan rumination. Pertama, terapkan effective distraction, libatkan diri dalam kegiatan yang memunculkan pikiran positif. Misalnya melakukan hobby atau melakukan hal apapun yang menyenangkan. Intinya, ada kegiatan yang dilakukan untuk mengisi pikiran Anda, khususnya dengan pikiran positif. Hal ini diharapkan dapat mengalihkan pikiran dari rumination sementara waktu sehingga rumination tidak dapat muncul dan tidak menguasai pikiran serta memberikan ruminator reinforcement yang positif. Namun, effective distraction disini tidak termasuk pada kegiatan-kegiatan membahayakan diri seperti mabuk, penyalahgunaan narkoba atau perilaku agresif. Kedua, melakukan pemecahan masalah. Biasanya ruminator seringkali terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan abstrak dalam pikirannya seperti "mengapa ini terjadi? apa yang salah sehingga hal itu terjadi?". Bahkan ketika mereka berusaha menyelesaikan situasi, mereka akan cenderung menyimpulkan bahwa " Tidak ada yang bisa dilakukan". Hal itu perlu dicegah dengan berpikir jernih. Lakukan identifikasi, setidaknya satu hal konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Misalnya Anda terjebak dengan pikiran bahwa Anda tidak menyukai suasana kantor Anda sekarang, maka coba lah hubungi teman Anda sehingga bisa memperoleh brainstroming solusi yang lainnya. 

Cara lainnya, menurut Winch, Guy (2013) adalah mengubah perspektif kita menjadi perspektif orang ketiga saat melakukan analisa terhadap pengalaman negatif yang kita alami sehingga kita tidak langsung membayangkan dan merasakan emosi negatif yang ditimbulkan dari pengalaman tersebut. Ketika kita berperan sebagai orang ketiga, kita akan menafsir-ulang pengalaman tersebut hingga mampu membentuk pemahaman baru terhadap pengalaman negatif yang kita alami. Selain itu, ruminator juga dapat melakukan reframing emosi agar pengalaman negatif tersebut tidak terlalu memicu emosi yang negatif pula. Hal ini dengan cara merumuskan suatu penafsiran baru dari pengalaman yang memunculkan emosi negatif menjadi lebih positif. Misalnya ketika kita mengalami kegagalan, daripada terus menerus sedih dan kecewa terhadap pengalaman tersebut, kita bisa mengubah kegagalan tersebut sebagai motivasi untuk lebih berusaha lagi. 

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kegiatan merenung cenderung dikaitkan dengan sesuatu yang "maladaptive" melalui adanya rumination. Akan tetapi, kegiatan merenung sendiri memiliki sisi positif yang dinamakan adaptive self reflection. Kondisi tersebut terjadi ketika individu fokus pada bagian konkret dari situasi dan perbaikan yang dapat dilakukan. Rumination erat kaitannya dengan gangguan klinis lainnya seperti depresi, kecemasan, PTSD dan lainnya. Oleh karena itu, ruminator tetap disarankan untuk mencari bantuan dengan datang ke psikolog atau psikiater.



* Perilaku Instrumental adalah perilaku yang selalu memanfaatkan segala sesuatu yang ada di lingkungannya untuk membantu dirinya mencapai tujuan yang hendak dicapai.

Carla Grayson Quotes (With images) | Quotes, Feelings, Ruminations

Daftar  Pustaka
Sansone, Randy & Sansone, Lori. A. (2012). Rumination: Relationships with physical health. Jpurnal of innovations in clinical neuroscience Feb; 9(2): 29–34

Nolen-Hoeksema S, Wisco BE, Lyubomirsky S. Rethinking rumination. Perspectives in Psychological Science. 2008;3:400–424

 Ito T, Takenaka K, Tomita T, Agari I. Comparison of ruminative responses with negative rumination as a vulnerability factor for depression. Psychol Rep. 2006;99:763–772.

Noleh - Hoeksema, Vine, V & Gilbert Kirsten. (2013).  Rumination & Emotions. Handbook of Psychology of Emotions: Recent Theoretical Perspectives and Novel Empirical Findings. 

Guy, Winch. (2013). Emotional First Aid. 


https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.pinterest.dk%2Fpin%2F102808803970924755%2F&psig=AOvVaw0kbrF9qqnPIW4a29lab18L&ust=1594542731207000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCPidoIHlxOoCFQAAAAAdAAAAABAS

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.bphope.com%2Fblog%2Fredirecting-thoughts-ending-rumination-alleviating-depression-bipolar%2F&psig=AOvVaw3Ldc9_GUBnIzooXWJ0I79K&ust=1594543449672000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCIC86bfnxOoCFQAAAAAdAAAAABAL

:::: Finish your unfinished business: How to leave it behind you :::

Sometimes a memory acts like a ball and chain and holds us back - because we relive it over and over again....      Pernah tidak merasa emos...