Minimalism ADALAH salah satu dari resolusi saya di tahun 2019 ini,
So, saya mulai dengan merubah mindset melalui beberapa buku terkait gaya hidup minimalist.
Lebih tepatnya, ada 3 buku yang saya sudah siapkan untuk "MEMULAI", nantinya satu per satu akan saya bahas di blog ini.
Buku pertama yang akan saya selesaikan (mudah-mudahan di bulan ini) adalah
Buku ini sendiri cukup padat namun to the point. Dimulai dengan pembahasan mengenai urgency dari hidup minimalis, step by step cara melakukannya serta bagian mendetail terkait bagian mana saja dari rumah kita yang dapat kita jadikan objek untuk gaya hidup ini. Sepertinya, buku ini lebih banyak membahas terkait aplikasi dari gaya hidup minimalis di lingkungan rumah saja, namun tidak sampai mendalam menjadi suatu lifestyle?? Untuk membahasnya, saya akan membagi tulisan ini menjadi 4 bagian di dalam blog saya, dengan harapan Anda yang membacanya tidak bosan dan dapat lebih memahami inti dari buku ini. Selamat membaca :)
Terkait dengan urgency, pertama-tama penulis mengajak kita untuk mengenali apa saja kegunaan setiap barang yang kita sudah miliki di rumah. Menurutnya, barang-barang perlu dikelompokkan, dimaknai, dan diketahui kegunaannya. Secara umum, ada 3 kategori barang, yakni barang fungsional, barang dekoratif dan barang emosional. Untuk menjadi seorang minimalis, apabila Anda memiliki banyak barang dengan kategori barang fungsional dan dekoratif, maka cenderung mudah untuk "disingkirkan". Namun berbeda dengan kategori barang emosional, nilai emosional di dalamnya akan menjadi pemberat Anda dalam menyingkirkan barang-barang tersebut. Di luar itu, banyak dari kita cenderung memiliki semacam 'barang aspiratif" yakni barang yang sengaja dimiliki untuk membuat orang lain terkesan atau untuk mewujudkan versi diri menurut bayangan kita.
Penulis juga mengajak kita untuk berpikir bahwa dengan memiliki sedikit barang, maka sedikit pula stress yang kita rasakan, Hal ini karena ketika kita membeli suatu barang, secara otomatis kita juga menambah "tanggung jawab" kita terhadap barang tsb. Tanggung jawab itulah yang secara tidak langsung menjadi sumber dari stress kita. Oleh karena itu, daripada berfokus pada tanggung jawab a.k.a membeli barang, ada hal lain seperti belajar, menjalani hidup dan berekreasi yang jauh lebih penting. "KEBAHAHAGIAAN" seperti itulah yang menjadi point dari hidup minimalis saudara-saudara....
Selain mengurangi stress, dengan memiliki sedikit barang juga membantu kita untuk hidup dengan perasaan lebih "merdeka". Dalam hal ini, penulis menyebutkan bahwa barang mungkin saja memiliki kekuatan untuk menahan kita dari minat, bakat baru atau hal-hal lain yang jauh lebih penting. Analoginya seperti ini, kadang kita merasa malas bepergian dengan alasan terkait barang bawaan yang berat atau merasa enggan/khawatir meninggalkan rumah beserta barang-barang mungkin? Ini berarti, barang-barang Anda sudah "menahan" Anda untuk mengeksplorasi hal baru bukan? Tidak hanya kebebasan, barang juga dapat menguasai keuangan kita melalui hutang yang kita gunakan untuk membelinya. Kita seringkali bekerja keras untuk "membiayai" barang-barang yang bahkan sudah tidak kita gunakan atau tidak bermakna lagi. Selain rasa merdeka, penulis juga menyebutkan bahwa dengan melepaskan "ikatan" kita dengan barang, dapat membantu kita untuk ikhlas apabila mengalami kehilangan (pencurian, bencana alam, kebakaran dll). Begitu banyak bukan manfaatnya secara psikologis?
Berikut tadi adalah beberapa mindset yang dapat dipertimbangkan sebagai manfaat dari "ketidakterikatan" kita dengan barang. Selanjutnya penulis membahas, hal apa saja yang dapat kita lakukan untuk MENGHALANGI barang masuk ke dalam hidup (baca:rumah) kita. Barang dapat masuk hanya dengan 2 cara yakni dibeli dan diberi. Dibeli, sebelum membeli kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan seperti nilai dari barang ini, manfaatnya, tempat penyimpanannya ada atau tidak, serta tingginya motivasi kita untuk memiiki barang tsb, apakah jangka panjang atau hanya sekadar impulsif belaka? Sedangkan jika barang tersebut diberi, katakanlah hadiah, setidaknya Anda dapat menghindari moment-moment terkait hadiah (saran saya, jika mungkin request/kode* saja hadiah yang memang memiliki manfaat dalam hidup). Intinya, perlakukanlah rumah Anda seperti ruang yang sakral, yang memang memuat barang - barang fungsional, bukan tempat asal penyimpanan barang.
Setelah berfokus pada barang, selanjutnya penulis mengajak kita untuk lebih menghargai pada ruang tempat kita tinggal. Jangan sampai ruang kita semakin sempit seiring kita membeli barang. Karena memiliki ruang yang cukup, bisa membuat kualitas hidup lebih baik, kita dapat bergerak dan mengekspresikan diri kita dengan leluasa. Untuk dapat mewujudkan ruang yang cukup, kita perlu melawan keinginan untuk menghadirkan "tiruan dunia luar" di dalam rumah kita sendiri. Seperti contohnya, untuk menikmati seni seringkali orang lain menempatkan barang-barang seni begitu banyak di dalam rumahnya atau menyediakan set lengkap peralatan olahraga dengan modus untuk bisa berolahraga kapan saja di rumah. Dalam hal ini, penulis menyarankan agar kita dapat belajar "mencintai tanpa memiliki" sebagai moto. Kita bisa menikmati apapun tanpa harus menyimpan dan merawat barang-barang tersebut melalui fasilitas umum. Contoh sederhana, Anda bisa saja melakukan "window shopping" hanya untuk memenuhi kepuasan Anda terhadap barang-barang.
Pemikiran selanjutnya, Anda akan diajak untuk bahagia dengan "cukup". Penulis memberikan contoh bahwa banyak orang kaya yang tidak merasa puas terhadap apa yang sudah dimiliki. Maka jika orang kaya saja tidak bisa mencapai rasa puas tersebut, mengapa kita perlu memburu rasa puas yang sama terhadap barang? Intinya, kita perlu berfokus pada apa yang sudah ada bukan apa yang tidak kita punya. Dalam hal ini, penulis memberikan insight dengan cara meminta pembaca untuk mendaftar SEMUA barang yang kita punya di dalam rumah, jika tidak memungkinkan maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya hidup kita sudah lebih dari cukup, bukan?
Penulis juga mengajarkan untuk hidup sederhana, disini maksudnya adalah hidup dengan cara tidak menggunakan sumber daya lebih daripada yang kita butuhkan. Karena ketika kita menambah barang yang kita gunakan, "tambahan" tersebut mungkin tidak signifikan bagi kita namun bagi orang lain bisa jadi merupakan penentu antara hidup dan mati. Saya pikir disini penulis juga mengajak agar kita mencoba hidup dengan cara turut memikirkan orang lain di luar sana. Ada beberapa caranya, antara lain membeli produk lokal, membeli barang bekas, dan tidak membeli terlalu banyak.
Penulis juga mengajarkan untuk hidup sederhana, disini maksudnya adalah hidup dengan cara tidak menggunakan sumber daya lebih daripada yang kita butuhkan. Karena ketika kita menambah barang yang kita gunakan, "tambahan" tersebut mungkin tidak signifikan bagi kita namun bagi orang lain bisa jadi merupakan penentu antara hidup dan mati. Saya pikir disini penulis juga mengajak agar kita mencoba hidup dengan cara turut memikirkan orang lain di luar sana. Ada beberapa caranya, antara lain membeli produk lokal, membeli barang bekas, dan tidak membeli terlalu banyak.
Sumber:
Jay, Francine (2018). Seni Hidup Minimalis. Jakarta.
Jay, Francine (2018). Seni Hidup Minimalis. Jakarta.